gumigumiyuu


Udara malam yang dingin tidak lagi kamu hiraukan, meski pipi dan kedua tanganmu menjadi sedingin es.

Read more...


“Abis bang Geto siapa?” tanya Mai.

“Gue” jawabmu.

“Jalan, lama amat mikirnya” titah Momo.

Read more...


Kamu meregangkan tubuhmu yang terasa kaku akibat berjam-jam kamu duduk menatap layar monitor.

Read more...


Pukul 15.19 kamu baru memasuki area parkir kantor tempatmu bekerja.

Read more...



Mahito x reader

⚠️ Contains harsh words, cheating, gore, blood, explode


Jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, namun kamu belum juga menyelesaikan tugasmu.

Read more...


Naoya Zenin x reader



Minggu pagi merupakan salah satu hari yang sangat kamu nantikan setiap harinya. Pasalnya itu adalah hari dimana kamu dapat menikmati waktumu dengan bersantai karena libur.

Kamu dapat bangun terlambat tanpa merasa bersalah, bebas menonton tayangan yang kamu sukai, bebas melakukan apapun, bahkan jika kamu merasa sangat malas, kamu hanya akan berbaring di atas ranjangmu yang nyaman atau di sofa yang empuk. Sungguh menyenangkan bukan?

Namun tidak untuk hari ini.

TOKK TOKK TOKKK TOKKK

“LU TUH CEWE APA KEBO SIH? UDAH SIANG WOI! BANGUN!” teriak seorang lelaki dari balik pintu kamarmu.

Mari kita ucapkan selamat tinggal untuk rundown yang sudah kamu siapkan untuk bermalas-malasan pada hari liburmu ini.

“Koala!” Sahutmu asal dan kembali mencari posisi yang nyaman untuk tidur.

“PILIH KELUAR SEKARANG APA GUA GUYUR?” ancamnya.

Persetan dengan itu, toh pintu kamarmu sudah kamu kunci dari dalam.

Celotehan lelaki tadi sudah tidak terdengar, mungkin ia menyerah untuk membangunkanmu. Kamu pun mulai memejamkan mata karena rasa kantuk yang sudah tidak dapat kamu bendung.

Saat kamu mulai memasuki dunia mimpi, tiba-tiba..

BRAAKKKKK

Naoya berhasil mendobrak pintu kamarmu.

Kamu tersentak kaget hingga terbangun dari mimpi yang baru saja akan kamu jelajahi.

“NAOYA BRENGSEK!! GUE KAGETTT!”

“Siapa suruh ga bangun-bangun dari tadi?” jawabnya tanpa rasa bersalah.

Kamu masih berusaha mengatur napas dan detak jantungmu yang rasanya seperti akan melompat keluar karena terkejut.

“HEH? LU GAPAPA KAN?” tanyanya.

“ORANG GILA! KALO GUE MATI MENDADAK GIMANA?”

“Untungnya engga kan?”

Kamu yang hilang kesabaran mulai memukuli Naoya menggunakan guling dengan membabi buta.

“Bodo amat anjir! Gue sebel banget sama lu!”

Naoya hanya tertawa sembari melindungi kepalanya dengan kedua tangannya.

“Ini ada apa sih? Pagi-pagi ribut banget??” tanya ibumu yang tiba-tiba muncul.

“INI, MAAAA! NAOYA NGERUSAKIN PINTU LAGI” adumu.

Sedangkan Naoya hanya tertawa, tidak berusaha membela diri.

Ibumu tidak terlalu kaget, karena ini bukan kali pertama ia mendobrak pintu kamarmu hanya untuk membangunkanmu.

“Nanti Naoya bakal tanggung jawab, maa” ujar Naoya.

Kamu berteman sangat akrab dengannya beberapa waktu belakangan ini, sehingga ia tidak merasa sungkan lagi untuk memanggil ibumu dengan sebutan “Mama”.


“Orang mah mandi dulu, baru makan. Cewe jorokkk!” ujarnya.

“Yeee, berisik! Pulang aja lu sono!” usirmu yang mulai sebal.

“Kalian makan di teras aja sana. Pusing mama liat kalian berantem mulu!” sahut ibumu yang sudah jengah melihat kalian bertengkar tidak ada hentinya.

“Elu sih, bacot” bisikmu sembari menendang kaki Naoya yang berada di bawah meja makan.

“Maa, kaki Naoya ditendang (y/n)” adunya pada ibumu, dan berakting seolah kamu telah menendangnya dengan keras.

“Cih, tukang ngadu!” batinmu.


Saat ini kamu tengah duduk di salah satu bangku bioskop, tepatnya di barisan paling belakang.

Terima kasih kepada Naoya yang telah menyeretmu ke sini, menyaksikan film bergenre thriller yang dibumbui adegan menyedihkan yang membuat air matamu jatuh tanpa sadar.

Naoya yang berada di sebelah kirimu mulai mengusikmu dengan menendang kakimu pelan, berusaha untuk menarik atensimu padanya.

Kamu pun menoleh dan mendapatinya tengah duduk bersandar dengan tangan kiri yang menopang kepalanya. Cahaya dari layar bioskop membuatnya terlihat begitu menawan dengan senyum tipis yang menghiasi wajah tampannya.

“Brengsek ni orang, gantengnya ga tau tempat!” batinmu yang sempat terpesona melihatnya.

“Nangis?” tanyanya sembari terkekeh.

“Kaga lah!” jawabmu cepat dan langsung membuang muka.

“Terus itu apaan yang di mata lu? Cola?” tanyanya lagi.

“Nangis mah nangis aja hahaha” sambungnya sembari mengacak rambutmu.

Tubuhmu membatu. Pipimu memanas dan perutmu terasa geli, seolah ada kupu-kupu yang beterbangan di dalamnya.

“Ga boleh baper! Ga boleh baper!” batinmu berusaha menguatkan diri.

“Apaan si?! Jadi berantakan nih rambut gue!” ujarmu sembari menepis tangannya.

Sejujurnya, kamu lebih takut pertahanan hatimu yang berantakan karena ulahnya.

Pasalnya kamu memang memendam rasa kepadanya, dan kamu baru menyadarinya beberapa bulan lalu. Kamu terus bepikir, mungkin tetap dekat dengannya sebagai teman seperti saat ini adalah pilihan terbaik. Sehingga kamu selalu menyembunyikan perasaanmu, demi menjaga pertemanan kalian.

“Yaelah, rambut doang!” balasnya.


Kamu kembali fokus menonton film, melupakan keusilan Naoya yang beberapa kali membuat jantungmu berdebar tidak beraturan.

Lagi-lagi tangan usil Naoya mendarat di pucuk kepalamu.

“Cupcupcup. Jangan nangis” ujarnya.

Kamu pun menoleh dan dikejutkan dengan wajah Naoya yang hanya bejarak satu jengkal darimu. Kamu segera memalingkan wajahmu dan menunduk, berusaha keras agar Naoya tidak menyadari bahwa wajahmu saat ini sudah semerah tomat.

Melihat tingkahmu ia malah tertawa.

“Lu ngapain sih?” tanyanya.

“Muka lu ngagetin anjirrrr!”

“Kaget karna gua ganteng?”

“Idihh, kepedean lu”

Kamu berusaha mengabaikannya dengan kembali fokus menikmati jalan cerita pada film yang tengah kalian tonton. Sayangnya, kamu tidak bisa fokus sama sekali. Yang ada di kepalamu hanya Naoya dan segala tingkah usilnya.

Sedangkan Naoya yang berada di sebelahmu hanya memandangmu dan sesekali tersenyum.

“Gua suka sama lu” ujarnya.

“Hah?” Kamu tidak percaya dengan apa yang baru saja kamu dengar.

“Lu asik diajak hangout” balasnya.

“Oh.. gue kira..” batinmu.

Kamu tersenyum dengan senang mendengarnya.

“Jelas lahh!! Kapan-kapan kita nonton lagi di sini!“  ujarmu dengan semangat.

Naoya hanya mengangguk, menyetujui ucapanmu.

—FIN—


“Let's not fall in love, we don't know each other very well yet. Actually, I'm a little scared. I'm sorry.. Let’s not make promises, you never know when tomorrow comes. But I really mean it when I say I like you” —Naoya



“Let's not fall in love, we don't know each other very well yet. Actually, I'm a little scared. I'm sorry.. Let’s not make promises, you never know when tomorrow comes. But I really mean it when I say I like you”


(Aku merekomendasikan untuk sambil dengerin ini full dari awal track)


Sukuna tertidur sembari memegangi tanganmu. Posisinya terlihat tidak nyaman. Tentu saja, ia tertidur dengan posisi duduk diatas kursi dengan ranjangmu sebagai tempat ia menopang kepalanya.

Air matamu keluar ketika berusaha menyentuhnya. Wajahnya terlihat sedikit kurus, dan kecemasan tergambar jelas pada raut wajahnya meski ia tengah tertidur.

“Gue masih bisa liat Sukuna..” batinmu.

Kamu ingin sekali memanggilnya, namun tenggorokanmu terasa sangat kering dan sedikit sakit.

Meski begitu, kamu berusa untuk memanggil namanya.

”..Sukuna” panggilmu lirih.

Sukuna terlonjak mendengar suara lirih yang memanggil namanya. Jelas sekali ia benar-benar tidak bisa tertidur dengan tenang dan pulas seperti biasanya.

Kamu dapat melihat jelas wajah suamimu itu yang terlihat kaget, cemas, dan lega.

“Kamu bangun?? Mau minum dulu? Dokter. Aku harus panggil dokter!” Ujarnya sembari menekan tombol yang teetempel di dekat ranjangmu untuk memanggil perawat serta Dokter.

“Minum yaa? Pasti tenggorokan kamu kering” Ujarnya sembari memegang segelas air dengan tangan yang gemetar.

Kamu mengangguk dengan lemah, tapi...

“Jangan dulu deh. Nunggu dokter kesini dulu, takutnya kamu belom boleh minum.” Sambungnya yang sukses membuatmu dongkol.

“PHP!! Gue udah haus beneran ini” batinmu.

Sukuna menaruh kembali gelas yang tadi ia pegang.

Tidak lama, beberapa perawat dan dokter datang memasuki ruanganmu.

Sedangkan Mahito dan Gojo yang tengah menunggu di luar cemas melihat mereka datang dengan tergesa-gesa.

“KENAPA, JO??” tanya Mahito.

“Lah? Kok nanya gua? Tanya dokter lah, gua kan dari tadi disini sama lu” jawab Gojo.

“Emang dah, ga guna nanya sama lu!”

“Lu nya aja kaga jelas!”

“Bacot!”

“Kalian berdua pilih diam atau saya guyur pakai air?” Tanya seorang dokter muda dengan rambut pirang yang kembali keluar menghampiri mereka.

Gojo dan Mahito langsung terdiam. Dokter itu pun kembali ke dalam lalu menutup pintu.

“Kucing kali ah, diguyur pake aer” bisik Gojo.

“Lu kan emang kucing. Kucing garong!” balas Mahito.


“Syukurlah, keadaannya mulai membaik. Jadi sekarang kita fokus pada pemulihannya saja. Dan tolong untuk mengelola stress, supaya cepat pulih. Mungkin dapat terbantu dengan di temani suami dan anaknya” ujar dokter berambut pirang yang telah selesai memeriksa kondisimu.

“Bayi kami bisa dipindah ke sini?” tanya Sukuna.

“Setelah melihat perkembangan bayi Bapak dan Ibu, saya rasa tidak ada masalah jika dipindahkan ke sini. Nanti tolong siapkan inkubator di sini ya, sus.” jawab dokter itu sembari memberi arahan kepada perawat yang ada di sebelahnya.

Dokter itu sedikit melirik ke arah gelas yang tadi sempat Sukuna pegang.

“Kalau ingin memberi minum, boleh. Kalau untuk makanan, nanti akan disiapkan oleh perawat di sini ya. Saya pamit keluar dulu” sambung dokter itu sebelum pergi meninggalkan ruangan.

“Makasih, dok”  ujar Sukuna.

Ketika dokter itu membuka pintu untuk keluar, ia di kejutkan oleh dua orang yang menatapnya dengan tatapan ingin tau.

“Kalau penasaran, cek ke dalam. Tapi jangan berisik.” Ujarnya lalu pergi meninggalkan Gojo dan Mahito.


“Mau minum lagi?” tanya Sukuna.

Kamu hanya menggelengkan kepala.

LUVVVV!!!” ujar Gojo yang bersemangat melihatmu telah sadar.

Namun ia malah menerima pukulan keras dari Mahito.

“Berisik!” ucap Mahito yang sudah lelah dengan Gojo.

“Mau ketemu bayi kita?” tanya Sukuna dengan senyum hangat.

Namun senyumnya seketika pudar setelah mendengar ucapanmu.

“Aku... punya anak? Aku belum nikah..”

Gojo dan Mahito tak kalah terkejut mendengarnya.

“Kita udah nikah” jawab Sukuna.

“Kamu beberapa hari lalu abis ngelahirin anak pertama kita. Kamu kasih nama Yuuji” lanjutnya.

”..Hah?”

“Kamu.. gak inget?”

Kamu hanya menggeleng.

“Ini.. liat. Kita pake cincin nikah. Di dalemnya ada nama kita” ujar Sukuna yang berusaha meyakinkanmu dengan menunjukkan cincin nikah yang kalian gunakan.

Kamu tidak meresponnya.

“Amnesia, Jo?” tanya Mahito yang berbisik pada Gojo.

“Kayanya gitu. Kalo diare kan ga mungkin ampe lupa gini” jawab Gojo tanpa berpikir.

“Ngapa diare sih? Orgil!”

Sukuna memegangi tanganmu dan tertunduk lemas.

“Kalo kamu lupa semuanya? Aku.. harus gimana?” ujarnya lirih.

Kamu malah tertawa.

“Bikin aku jatuh cinta lagi sama kamu. Unaa, aku kangen..” ujarmu yang membuat Sukuna segera mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk.

“Kamu.. inget?”

“Ga mungkin lah aku lupa” jawabmu yang langsung dihadiahi cubitan pada pipimu oleh Sukuna.

“Aku baru bangun loh!”

Sukuna mulai membenamkan wajahnya pada bahumu.

“Una, ih. Geli”

“Diem”

“Ya sueb, pemandangan apaan ni yang gua liat?” Celetuk Mahito.

“Suab sueb suab sueb mulu lu dari kemaren.” Sahut Gojo.

“Komen aja netijen”

“Una? Kamu nangis? Hahahahahaha” Kamu tidak bisa menahan tawa melihat laki-laki yang biasanya terlihat kuat dan kokoh, saat ini menangis di bahumu.

“Kamu bikin aku takut” bisiknya yang membuat telingamu geli.

“Maaf, Una. Aku janji ga bakal bercanda kaya tadi lagi..” ucapmu sembari mengelus kepalanya.

“Bercanda lu jelek. Ampe naber gua dengernya tadi” sahut Gojo.

Kamu hanya tertawa mendengarnya.

“Naber mah ke kamar mandi sana! Awal aja jebol disini!” Ujar Mahito.

“Gua trauma ah ke kamar mandi” jawab Gojo.


“Anak gemes siapa ini?” Ucapmu sembari memainkan pipi tembam anakmu yang tengah digendong oleh Sukuna karena kamu masih terlalu lemas untuk menggendongnya.

“Anak mama sama papa Una” jawab Sukuna, seolah menggantikan anaknya berbicara.

Ketika kalian tengah asik bermain dengan Yuuji, pintu ruanganmu terbuka dan memperlihatkan Geto serta Shoko yang baru tiba.

Shoko segera berlari menghampirimu. Ia terlihat sangat senang melihatmu sudah sadar.

“Gua mau meluk, tapi gua abis dari perjalanan jauh. Kotor, kena debu sama asap kendaraan” ujar Shoko.

“Lu bikin panik tau ga?? Untung deh lu sekarang udah mulai membaik” lanjutnya.

“Maaf, Ko. Liat nih ponakan lu, lucu ga?” Jawabmu berusaha mengalihkan topik.

“Gemes banget!! Pipinya mau gua gigit!” Ujar Shoko dengan heboh.

“Sembarangan! Emang pipi anak gua bakpau apa?” balas Sukuna yang mulai menjauhkan anaknya dari Shoko.

“BERCANDA DOANG, SU!”

Sedangkan Geto mulai bergabung dengan Gojo dan Mahito.

“Anaknya mirip Sukuna banget ya? Hahahaha” celetuk Geto.

“Iya. Kalo mirip gua, pasti lebih lucu” sahut Gojo yang langsung dihadiahi tatapan sinis dari semua yang ada di dalam ruangan itu.

“Orgil!” Ucap Mahito sembari menepuk bahu Gojo sedikit keras.

“GWS, bro!” Ujar Geto yang ikut menepuk bahu Gojo pada sisi lainnya.


“When you are alone”


Setelah Mahito berhasil meloloskan diri, ia memasuki sebuah ruangan yang ternyata adalah gudang.

Ia bersembunyi dibawah kolong meja, berharap agar sosok menyeramkan tadi tidak akan menemukannya.

Setelah dirasa aman, ia mulai menghubungi Gojo.

“Emang ya, ni orang ngeselin banget! Ogah gua temenan sama Gosat!” batin Mahito.


Gojo berlari ke lantai atas. Tanpa pikir panjang, ia memasuki sebuah ruangan dan bersembunyi ke dalam lemari yang ada di sana.

Belum sempat ia mengatur napas, tiba-tiba..

krieeetttt

Mungkin ini sebuah karma karena meninggalkan Mahito sebelumnya. Pintu ruangan tempat ia bersembunyi tiba-tiba terbuka.

“INI MAHITO KAN? PASTI MAHITO KAN??” pikirnya.

Namun ketika ia melihat dari celah pintu lemari, ia melihat sosok bergaun merah tadi berdiri persis di depan lemari. Bahkan mata mereka sempat bertemu.

“Khekhekhekhekhe ketemu..”

Sekujur tubuh Gojo mulai merinding, ia pun mulai merapalkan doa.

ALLAHU LAA ILAAHA ILLA HUWAL HAYYUL QOYYUUM. LA TA'KHUDZUHUU SINATUWWALAA NAUM... ASTAGHFIRULLAH ASTAGHFIRULLAH LUPA LANJUTANNYA APAAN”

“Lahuu maa fissamaawaati..”

“OIYA!! LAHUU MAA FIS—” seketika ia teringat sesuatu.

“OASU! KOK MALAH DIA LANJUTIN SIE??” batin Gojo.

Ia pun memutuskan untuk membuka pintu lemari dengan kuat, lalu berlari entah kemana.


Mahito tengah sibuk menghubungi Sukuna, bahkan ia juga menghubungi Geto serta Shoko via DM untuk segera datang dan meminta mereka untuk membawa beberapa Ustadz guna mengusir sosok yang sedari tadi mengganggunya.

tak.. tak.. tak.. tak.. tak..

“Jangan kesini anjir. Plis! Gua mohon!” Batin Mahito.

tak.. tak.. tak.. tak.. tak..

“Ada.. di dalam ya..? Khekhekhekhe”

Mahito menutup mata dan telinganya rapat-rapat.

GRRRKKK GRRKKK GRRKKK

Kini mulai terdengar suara cakaran pada pintu berbahan kayu yang menutupi gudang, tempat Mahito bersembunyi.

“Di.. dalam.. kan?” tanya sosok itu.

Mahito yang ketakutan masih tidak bergeming.

Suara itu pun akhirnya menghilang. Namun..

“Ketemu.. khekhekhekhe”

Mahito terlonjak kaget mendengarnya. Ketika ia membuka mata, ia melihat sosok itu tengah membungkuk di hadapannya.

“Bayiku... di sana.. ya?” tanyanya sembari menunjuk perut Mahito dengan jarinya yang berkuku tajam.

Rasa takut yang teramat sangat membuatnya tidak berkutik. Tubuhnya tidak bisa digerakkan dan merasa dingin seolah tengah berada di tengah salju.

Untungnya, seseorang yang sedari tadi membuatnya kesal tiba-tiba membuka pintu gudang dengan heboh.

“TO! SETANNYA DIATAS, TO! AYO, KABUR SE—” ucapan Gojo terhenti ketika melihat sosok bergaun merah yang tadi menemukannya tengah menunduk di depan Mahito.

Mahito terlihat pasrah dan nyaris pingsan.

Tanpa pikir panjang, Gojo memejamkan mata dan segera menarik lengan Mahito yang lemas layaknya cakwe.

Ia terus mensugesti dirinya sendiri, bahwa sosok bergaun merah itu adalah karpet agar tidak merasa takut.

Namun, tangan dingin mulai mencengkram lengan Gojo dengan kuat. Saking kuatnya, kuku tajam sosok itu sampai menusuk kulit lembut milik Gojo.

Ia berpikir bahwa ia harus melawan, jika ia terus merasa takut.. mereka berdua akan berada dalam bahaya.

Ia pun mulai berdoa dan mengayunkan tangannya yang lain dengan membabi buta. Ya, ia masih memejamkan mata sehingga tidak tahu apakah ayunan tangannya mengenai sosok itu atau tidak.

Cengkraman pada lengannya mulai mengendur. Ia segera menarik lengannya dan membawa Mahito keluar dari gudang.


“SADAR, TO! KITA HARUS CEPET LARI DARI SINI!” teriak Gojo sembari menepuk-nepuk wajah Mahito dengan sembrono.

“SAKIT, ORGIL!!”

“MAKANYA SADAR! BISA LARI GA LU?”

Mahito hanya mengangguk.

Mereka pun berlari memasuki mobil Sukuna yang tadi telah mereka gunakan.

“PEGANGAN! GUA MAU NGEBUT!” titah Gojo yang mulai mengemudikan mobil.

“TANGAN LU BERDARAH, JO!”

“PERUT LU JUGA TUH, BERDARAH. MANA BAJU LU ROBEK KAGA JELAS GITU.”

“KITA HARUS KE RUMAH SAKIT SEKARANG!! SEKALIAN NYURUH SUKUNA SAMA ISTRINYA PINDAH DARI SINI” ujar Mahito.

“HARUS PINDAH LAH! GILA, TANGAN SAMA KAKI GUA MASIH GEMETERAN” keluh Gojo.


“When you are alone”


Mahito dan Gojo sedang menuju rumah yang kamu dan Sukuna huni.

Sejauh mata memandang, mereka hanya melihat pepohonan yang menjulang tinggi dengan dedaunan yang rimbun. Cukup sejuk namun sedikit menghalangi sinar matahari, sehingga membuat jalanan terlihat gelap.

“Rumahnya beneran lewat sini?” Tanya Mahito.

“Iyee, udah sesuai sama mapsnya kok” jawab Gojo.

“Demi dah, ini sepi banget. Gua ga liat orang lewat dari tadi”

“Jangankan orang, rumah aja jarang-jarang. Untung aja tadi di deket rumah sakit ada steam mobil yang buka”

“Masih jauh ga sih?”

“Engga. Bentar lagi nyampe”


Setibanya di halaman rumahmu, Gojo dan Mahito tidak kunjung keluar dari mobil.

“Jo.. gua mau pulang aja, Jo. Anterin gua ke bandara apa terminal kek, terserah.”

“Ga bisa, bro. Selain males, bensinnya juga ga bakal cukup”

Tidak lama, ponsel Gojo berdering yang menandakan adanya pesan masuk.

“Jo, gua baru inget. Tolong ya cuciin sprei di kamar gua. Kemaren pengen gua cuci tapi gua belom bisa pulang, harus jagain anak sama istri disini. Bilangin Hito juga ya. Sorry ngerepotin kalian. Thanks!” —Sukuna

“To, Sukuna nge-chat gua. Baca dah” ujar Gojo.

Mahito pun membacanya dan hanya menghela napas.

“Dahlah, jauh-jauh kesini malah jadi upik abu”

“Yaudah, ayo. Masuk!”

“Tardulu ah”

“Takut lu? Cemen banget! Kaya gua dong, pemberani!”

“JINGAN! KAGA LAH! AYO DAH MASUK!”


Setelah beberapa saat berdebat dengan Mahito, Gojo pun membuka pintu dan memperlihatkan banyak noda darah yang berceceran di lantai.

Jika lupa, itu adalah darahmu tempo hari ketika mengalami pendarahan.

“Gua mau balik aja, jalan kaki. Bye!” Ujar Mahito yang berbalik arah namun segera ditahan oleh Gojo.

“Lebay lu ah. Baru liat ginian aja udah pengen pulang”

“Hawanya berat banget, Jo. Gua ga kuat, pusing banget”

“Duduk dulu gih di sofa. Anggep aja kaya di rumah sendiri”

“Pel, Jo.”

“Dih? Nyuruh”

“Lu ga ngerasa gimana gitu liat lantainya kaya gini?”

“Iya sih. Bentar”

Gojo mulai bergegas mencari kain pel, namun baru beberapa langkah berjalan, ia langsung berbalik.

“Lu butuh minyak ga? Buat oles-oles” tanya Gojo karena kasihan melihat Mahito yang terlihat pusing dan sedikit pucat.

“Ada? Minta dong!” Seru Mahito.

“Bentar, gua ambilin dulu”

“Ga nyangka, ternyata si Gojo masih punya sisi baik. Nawarin gua minyak angin segala” batin Mahito.

Tidak lama kemudian Gojo muncul dengan membawa sebotol minyak goreng di tangannya.

“Nih, buat oles-oles” ujar Gojo.

“BRENGSEK! GUA KIRA LU MAU BAWAIN GUA MINYAK ANGIN”

“Marah-marah mulu lu?! Ga ada. Lu minyakin dulu aja, nanti gua angin-anginin”

“GA JELAS LU! SONO CARI KAIN PEL AJA!”

“GUA TARIK KATA-KATA GUA YANG BILANG GOJO BAIK” batin Mahito yang kesal.


Setelah menemukan kain pel beserta pewangi lantai, Gojo pun mengepel lantai yang terkena noda darah hingga menuju kamarmu.

“Yang ono masih noh” ujar Mahito sembari menunjuk.

“Kok gua jadi kaya babu lu ya? GANTIAN!”

“Yaela, Jo. Tanggung itu”

“Kaga ada tanggung-tanggungan!”

Akhirnya Mahito menggantikan Gojo untuk mengepel. Setibanya di depan pintu kamarmu, Mahito merasa ragu untuk membukanya.

Namun Gojo segera membuka pintunya tanpa pikir panjang.

Mereka terkejut melihat banyaknya noda darah yang telah mengering pada sprei putih yang melapisi kasur milikmu dan Sukuna.

“Gila..” celetuk Mahito.

“Kok tiba-tiba dingin ya? Padahal AC-nya ga nyala” gumam Gojo yang tengah memegang remot AC.

Mahito segera menoleh ke arah Gojo.

“Cepetan, Jo! Yang kena darah bawa ke kamar mandi. Cuci! Gua yang ngepel.” Titah Mahito sembari mengepel lantai dengan tergesa-gesa.

“Enak aja. Bareng lah! Masa gua nyuci sendiri?”

“Batu banget lu jadi orang. Yaudah itu siapin dulu. Buruan!”

“Buru-buru amat lu kaya lagi dikejar set—” celetuk Gojo yang segera dibungkam oleh Mahito.

“Orgil! Jangan ngomong macem-macem!”

Setelah selesai mengepel lantai yang terkena noda darah, mereka pun segera keluar dari kamar itu dan bergegas menuju kamar mandi untuk mencucinya.


srekk srek srekkk srekk

Gojo dan Mahito tengah bahu-membahu menyikat kain sprei yang tak kunjung bersih.

“Darahnya my luv bandel juga ya?” celetuk Gojo yang ingin menuang cairan pemutih pakaian.

“Jangan langsung dituang anjir! Yang ada rusak nih kain! Gitu aja gatau”

Sorry nih bukannya sombong. Gua mah kaga pernah nyuci, nanti jari-jari gua yang indah ini rusak”

Sontak saja, Mahito langsung memukul Gojo dengan gayung.

“Ngomong nih sama gayung”


srek srekk srekk srekk

Gojo dan Mahito kembali tekun menyikat kain yang terlihat mulai bersih.

“Coba dah pake sabun mandi. Katanya ampuh” ujar Gojo.

“Kata siapa?”

“Kata temen emaknya nenek buyut gua”

“Pernah ketemu? Emang masih idup?”

“Kagatau, gua ngarang”

“Orgil” Tapi Mahito tetap menuang sabun mandi cair untuk mencucinya.

“Eh, beneran bersih!” Seru Mahito.

Meskipun masih sedikit terlihat bekasnya karena nodanya telah lama mengering.

“Kece! Tinggal bilas aja nih” ujar Gojo yang mulai menyiapkan ember untuk membilas.

Ketika ia mulai menyalakan keran, tiba-tiba ia merasakan hawa dingin yang menyapu tengkuknya.

“Gara-gara kelamaan kena air kali ya?” pikirnya.

“KHEKHEKHEKHEH”

“Ketawa lu freak banget, To. Mana cempreng” kritik Gojo.

“Apaan si? Gua diem aja daritadi” elak Mahito.

“Bentar, jadi bukan lu juga yang ketawa?” Sambungnya.

Mereka terdiam dan saling berpandangan.

Lagi-lagi mereka mendengar suara tawa aneh tadi, namun suaranya semakin mengecil.

“Khekhekhekhekhe”

Mahito segera bergegas membilas kain yang mereka cuci, dan Gojo menyiram lantai kamar mandi hingga bersih.

“Khekhekhekhe udah... pulang..”

Gojo dan Mahito mematung seolah semua sendinya menjadi kaku.

tak.. tak.. tak.. tak.. tak..

Sosok itu mulai mengetuk jarinya ke tembok dengan irama yang sama. Suasana yang hening membuatnya terdengar begitu jelas dan keras.

Mereka pun memberanikan diri untuk melihat ke arah pintu. Dan benar saja, disana tengah berdiri sesosok wanita bergaun merah darah dengan wajah yang mengerikan untuk dilihat.

“Bayi..ku.. di.. mana?”

Gojo dan Mahito tidak menjawab, mulutnya terasa sulit untuk digerakkan. Mereka hanya bisa berceloteh dalam hati.

“YA ALLAH, GUA HARUS BACA SURAT APA INI? GUA NGEBLANK. YANG GUA INGET MALAH SURAT CINTA UNTUK STARLA. YAELAH, ITU MAH LAGU. EMANG MEMPAN?” batin Gojo.

“SIAL. TANGAN GUA GEMETERAN” batin Mahito yang tangannya bergetar hebat.

Tidak ada jawaban, sosok bergaun merah itu kembali bertanya.

“Ada... di sana? Atau... di sana? Khekhekhekhe” tanyanya sembari menunjuk perut Gojo dan Mahito.

“KITA COWO, BGST!!” batin Gojo.

“Perut gua perasaan kaga buncit” batin Mahito.

Tanpa sadar, sosok itu mulai mendekati mereka berdua dengan tangan terjulur yang memperlihatkan kuku panjangnya yang tajam seolah siap untuk merobek apapun yang ada di hadapannya.

Sadar akan bahaya yang mungkin saja terjadi, Gojo nekat berlari melewati sosok itu.

“GATAU LAH, TEROBOS AJA! AAAAAAA” teriak Gojo sembari berlari dengan mata tertutup.

“GOSAT BJINGAN! KABUR GA NGAJAK-NGAJAK!” batin Mahito.

Ia pun mengikuti tindakan Gojo, yakni menerobos keluar dengan mata tertutup. Sayangnya, usahanya tidak semulus Gojo.

“LEPASIN GUA! LEPAAAASSS!! GUA COWO! GUA GA PUNYA BAYI!!” teriak Mahito yang masih memejamkan mata.

“Khekhekhekhe nyangkut ya?”

“Nyangkut?” batin Mahito.

Ia pun membuka mata dan menoleh ke belakang. Benar saja, bajunya tersangkut gagang pintu.


“When you are alone”