Monster
Mahito x reader
⚠️ Contains harsh words, cheating, gore, blood, explode
Jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, namun kamu belum juga menyelesaikan tugasmu.
Ah, lebih tepatnya kamu belum mengerjakannya sama sekali. Bagaimana mungkin kamu dapat fokus mengerjakannya jika sedari tadi tangismu tidak berhenti?
“Lu mau sampe kapan sih nangisnya?” tanya seorang pria yang duduk di sebelahmu sembari menyesap americano dingin miliknya.
Kamu tidak menjawabnya, masih hanyut dalam rasa sedih yang menyesakkan dadamu.
“Seengganya kalo nangis tuh tau tempat lah, jangan di tempat rame gini. Dari tadi gua diliatin orang mulu, dikira gua yang abis ngejahatin lu” keluh pria itu.
“...gue kurang cantik ya? Gue ngebosenin juga ya? Sampe-sampe dia selingkuh begitu..” racaumu.
“Engga. Cowo lu aja yang dasarnya emang brengsek” balas pria berambut abu kebiruan itu dengan santai.
“Hati gue sakit banget, To. Lu tau kan gue sesayang apa sama dia?” ujarmu.
“Lu tadi liat sendiri kan? Dia mesra banget sama cewe itu.. Pengen gue samperin, tapi malah lu tahan-tahan” lanjutmu.
Pria yang bernama Mahito itu hanya menatapmu sekilas sebelum membalas ucapanmu.
“Buat apa? Kalo lu ngelabrak, lu juga yang nanti bakal malu.”
Memang benar, jika tadi kamu memhampiri kekasihmu yang sedang asik menikmati kisah romansanya dengan wanita lain, pasti akan terjadi keributan yang mungkin saja akan membuat kalian menjadi pusat perhatian.
Mahito kembali berbicara.
“Kan udah gua bilang. Tuh cowo emang brengsek, ngga pantes buat lu. Lupain aja”
“Enteng banget lu ngomong” sahutmu yang kini tangismu telah mereda.
“Tugas lu kerjain” titahnya.
“Hito... gue ga ngerti sama tugasnya”
Mendengarnya, Mahito mulai mengambil alih laptop yang sedari tadi kamu biarkan menyala di atas meja.
“Yaelah, coding beginian doang. Gua ajarin sini!” serunya.
“Lu bisa?”
“Jangan ngeremehin gua”
Kalau diingat, Mahito memang sangat terampil dalam mengoperasikan sistem maupun program komputer. Meskipun yang kamu tahu ia tidak memiliki riwayat pendidikan yang mempelajari bidang itu.
“Tapi traktir gua makan. Gua laper” sambung Mahito.
Tentu saja, tidak ada yang gratis dalam hidup ini.
drrrttt ddrrrtttt drrrtttt
Ponselmu terus saja berdering, namun kamu tidak memedulikannya.
“Cowo lu nelpon, ngga lu angkat?” tanya Mahito yang masih berkutat dengan laptopmu.
“Bukan cowo gue lagi. Udah putus”
“Kapan lu mutusinnya?”
“Tadi, lewat chat”
“Kenapa ngga lewat telepon?” Kamu menghela napas sebelum kembali menjawab pertanyaan Mahito yang seperti tidak ada habisnya.
“Kalo lewat telepon, gue takut luluh denger omongan dia. Mulut dia tuh manis banget, To. Astaga, gue baru sadar. Selama ini gue bego banget! Gue udah ketipu berapa kali ya, sama omongan manisnya?”
Mahito terkekeh mendengar jawabanmu barusan.
“Yehh, lu mah emang bego. Dikasih tau ngeyel. Coba kalo lu nurut ama gua, pasti ga bakal begini” ujar Mahito.
“Iya, iyaa. Sorry..” cicitmu.
“Yakk! Kelar juga akhirnya! Yuk, pulang. Gua anter” serunya dengan bangga setelah berhasil menyelesaikan tugasmu.
“Katanya lu laper? Ga jadi nyari makan dulu?”
“Engga. Udah kenyang kopi gua” jawabnya seraya bangkit dari kursi dan mulai mengenakan jaket kulit sintetis hitam miliknya.
Selama perjalanan pulang, kamu dan Mahito tidak banyak berbicara. Hanya kebisingan lalu lintas yang menemani kalian.
Ingin berbincang pun kalian tidak akan paham dengan apa yang kalian dengar.
“Wooshhh wrrshdkldkh yaa. Jangan wrrrrrhsh tiiinnn tiiinn,, wrrhh” ujar Mahito yang tidak terdengar jelas.
“HAH?” sahutmu.
“Nanti wrrroshsh bluksrkjjaljdj yaa. Jangan wrrrhhhkhkj ngeeeeeeeeeeng wossshhh”
“LU NGOMONG APAAN SI? YANG JELAS NGAPA. JANGAN KAYA ORANG KUMUR-KUMUR”
“BOLOT” seru Mahito.
Itu adalah satu-satunya ucapan Mahito yang terdengar jelas oleh telingamu.
“KOK MALAH NGATAIN SIH, ANJIRRR??”
“Sono, masuk. Tidur, ngga usah begadang.” titah Mahito.
“Yee, gue nungguin lu pulang dulu ini”
“Lah? Gua nungguin lu masuk dulu, baru balik”
“Kaga jelas lu. Yaudah, gue masuk. Thanks ya, Hito”
Sedangkan Mahito hanya mengangguk sembari melambaikan tangannya.
Ia terus memerhatikanmu, memastikan kamu masuk ke dalam rumah dengan selamat.
Mulutnya yang tertutup masker hitam mulai menyunggingkan senyuman ketika kamu kembali keluar untuk melambaikan tangan padanya.
Kamu terus berbalik, mencari posisi yang nyaman untuk tidur.
Sudah satu jam kamu berbaring, sesekali memejamkan mata untuk menjemput rasa kantukmu, namun tidak membuahkan hasil.
Seolah ada sesuatu yang mengganjal hingga membuatmu gelisah seperti ini.
“Hito udah tidur apa belom ya?” ujarmu sembari mengambil ponselmu yang berada di nakas.
Kamu mulai menghubunginya namun yang terdengar malah suara perempuan.
Nomor yang Anda tuju sedang berada di luar jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi.
Begitulah kata perempuan itu, yang tidak lain adalah operator seluler.
“Tumben? Kok ga bisa ditelpon sih?”
Kamu sedikit kesal karena rasa gelisahmu bukannya mereda, malah makin menjadi-jadi.
Kamu meletakkan kembali ponselmu ke atas nakas yang berada tepat di sebelah ranjangmu, dan berusaha untuk tertidur karena besok kamu memiliki jadwal kelas pagi yang tidak boleh kamu lewatkan.
“...tolong” cicit seorang lelaki yang sudah kepayahan.
Di sela-sela rintihannya, ia terus saja meminta tolong meski ia tahu bahwa tidak akan ada orang yang datang untuk menyelamatkannya.
Tentu saja, tidak akan ada orang waras yang tengah malam akan datang ke basemant sebuah bangunan tua yang sudah lama terbengkalai itu.
Sedangkan seorang lelaki lain yang memakai setelan serba hitam di hadapannya malah tertawa keji.
“Engga ada yang nyangka ya.. Lu yang tadi masih ketawa-ketawa sama selingkuhan lu, sekarang malah jerit-jeritan di sini” ujar lelaki dengan setelan hitam itu.
Ia berjongkok dan mulai mengangkat rahang lelaki yang sudah kepayahan dalam keadaan tertelungkup itu.
“Ini ya? Mulut yang katanya selalu ngeluarin kata-kata manis itu?” Lelaki bersurai abu kebiruan itu menyeringai sebelum kembali berbicara.
“Tapi, mulut ini juga kan yang udah ngebohongin (y/n) selama ini?” Ia mulai menempelkan pisau lipat miliknya pada mulut lelaki payah itu.
“Mau gua robek... atau gua potong aja.. lidahnya?” sambungnya.
Lelaki payah tadi terkesiap, ingin rasanya ia lari dari kegilaan orang yang ada di hadapannya. Namun kakinya tidak mampu ia gerakkan setelah beberapa kali diinjak dan menerima hantaman dari tongkat logam.
“Mahito brengsek! Gua akui, gua emang salah karna udah nyakitin temen lu itu. Tapi ini ga adil! Kenapa gua harus disiksa kaya gini?”
“KALO LU TAU YANG LU LAKUIN ITU SALAH, HARUSNYA LU BERHENTI” teriak lelaki yang bernama Mahito.
“...harusnya lu berhenti. Harusnya lu berhenti bikin dia nangis. Harusnya lu berhenti bikin dia nunggu kabar dari lu setiap hari. Harusnya dulu lu berhenti ngedeketin dia kalo perasaan lu labil!” sambungnya.
Mendengar itu, lelaki yang nyawanya sudah di ujung tanduk itu malah tertawa renyah yang sukses menyulut emosi Mahito.
“Kalo lu segitu pedulinya sama dia, kenapa ga lu pacarin aja?” ujar lelaki itu sembari tertawa meski perut dan kerongkongannya terasa sangat sakit.
”Bangsat!” umpat Mahito dalam hati.
Ia mulai menendang wajah lelaki payah tadi menggunakan sepatu hitam dengan sol tinggi miliknya.
Lelaki itu tersungkur dan batuk hingga darah segar menetes dari mulutnya yang sudah sedikit tergores pisau milik Mahito.
“...haha..ha.. Lu itu cuma cowo cupu yang ga berani ngungkapin perasaan lu yang sebenernya” lelaki itu terus saja memprovokasi Mahito.
Tujuannya sederhana, agar Mahito emosi dan langsung membunuhnya saja. Sehingga ia tidak perlu bertahan lebih lama untuk merasakan sakit yang luar biasa.
”Lu ngga tau apa-apa, brengsek!” batin Mahito.
“Mulut lu masih bisa bacot aja ya?”
Kini Mahito mulai menarik rambut lelaki payah yang tersungkur tadi, agar ia melihat wajahnya.
Pisau tajam yang berada di genggamannya ia gunakan untuk memotong lidah lelaki payah yang menjerit dengan sisa-sisa tenaganya.
Darah segar mulai mengucur hingga mengotori pakaian lelaki yang sudah tidak karuan warnanya itu, bahkan ada sebagian darah juga yang mengalir melewati kerongkongannya.
Air mata pun kini telah menggenangi pelupuk mata lelaki itu. Ia hanya berharap kegilaan ini segera berakhir.
“..aa..ii..ho. hia pahi haku ao-“ lelaki itu berusaha berbicara, namun rasanya sangat menyiksa hingga ia mulai berhenti bersuara.
Meski ia paksakan, ucapannya tidaklah terdengar jelas karena lidahnya sudah terpisah.
Mahito mulai berdiri dan mengecek ponselnya, lalu tersenyum.
“Tuan putri udah bangun” ujarnya diiringi suara kekehannya yang khas.
“..so, our time is up. Goodbye, jerk! Your existence will be erased.” lanjutnya seraya mengarahkan mulut pistol tepat pada ulu hati lelaki yang keadaannya sudah memprihatinkan.
DORRRRR
“Ini karena lu udah nyakitin hati dia berkali-kali.”
Ia kembali meluncurkan tembakan di tempat yang berbeda.
DORRRRR
“Ini karena debaran jantung lu bukan untuk dia lagi”
DORRRRR
“Dan ini... karena kepala lu selalu mikirin hal licik buat manfaatin dia selama ini.”
Dengan itu, dapat dipastikan bahwa lelaki itu sudah meregang nyawa. Bahkan pada tembakan pertama yang ia terima.
Mahito keluar dari gedung yang terbengkalai itu dengan setelan pakaian lain yang sudah ia siapkan, sedangkan pakaian yang terkena noda darah ia tinggalkan di dalam basement.
Sebelum ia menancap gas pada motornya, ia menekan sebuah remot yang ada dalam sakunya.
Motornya ia lajukan dengan kecepatan sedang sembari menghitung mundur.
“Tiga..”
“Dua..”
“Satu..”
DUARRRRRRR
“BOOM! Hahahaha”
Basement gedung itu sengaja ia ledakkan. Tentu saja, ia ingin menghilangkan semua jejak yang ada.
Pukul 07.29 kamu masih bersiap untuk berangkat menuju kampusmu.
“Udah jam segini aja? Ntar keburu ga ya? Mana belom mesen ojol juga” batinmu.
Ketika kamu tengah memakai sepatu, ponselmu berdering. Menandakan adanya telepon masuk, yang ternyata dari Mahito.
Kamu pun segera mengangkatnya.
“Hito? Lu semalem kemana sih? Kok ga bisa ditelpon?”
”Engga kemana-mana. Semalem sinyalnya emang jelek sih.” balasnya dari sebrang sana.
“Ohh.. pantesan”
”Gua udah di depan rumah lu. Lu engga mau keluar?”
“Lu ngapain kesini?”
”Mau nganter lu ke kampus. Engga boleh?”
“Boleh! Bentar, gue keluar sekarang!”
Kamu mematikan sambungan telepon itu lalu bergegas keluar menghampiri Mahito yang sudah menunggumu di atas motor sport hitam miliknya.
- “Hito, makasih banget. Lu emang penyelamat gue! Kalo lu ga ada, mungkin sekarang gue udah telat”
Mahito tersenyum tipis di balik masker hitamnya.
“Santai. Sana masuk, nanti siang gua jemput” Kamu mengangguk lalu melambaikan tangan padanya sebelum pergi.
”Kalo lu tau semua tentang gua, apa lu akan tetap melambaikan tangan sambil senyum kaya gitu ke gua?” batin Mahito.
”Gua harap lu engga akan pernah tau apapun tentang gua.”
—FIN—
”Hackers hide like cockroaches, but are poisonous and exist everywhere. Behind your back, above your head, under your feet, and... in your heart” -707