gumigumiyuu


(Bisa sambil dengerin ini)


Sukuna masih terjaga, ia tak melepaskan genggamannya pada tanganmu barang sedetik pun. Seolah ia akan kehilanganmu jika ia melepasnya.

“Yuuji lincah banget, tadi ketawa terus waktu aku gendong”

“Kayanya dia suka digendong. Apalagi kalo digendong mamanya..”

“Kamu kapan bangun? Yuuji kangen mamanya. Aku juga..”

Sukuna terus berbicara meski ia tahu kamu tidak akan menjawabnya.

“Gojo katanya mau kesini. Aku suruh bareng Mahito biar dia ada temennya kalo nyasar” Sukuna terus bercerita sembari tertawa kecil.

“Tadi aku sempet liat tweetnya, kayanya nyasar beneran”

“Orang mah kalo nyasar tuh nelpon gitu ya? Nanya. Dia mah engga. Malu kali ya?”

Sukuna tertawa kecil, namun matanya tak bisa bohong. Disana tersimpan banyak kesenduan dan kerinduan kala menatapmu yang terbaring di ranjang rumah sakit dengan banyak selang yang menempel di tubuhmu.

“Kamu jangan khawatirin aku. Aku udah makan kok, biar tetep sehat dan bisa jagain kalian berdua.” ujarnya.

Sejujurnya ia tak berselera untuk makan, tapi ia harus.

Ia tahu, kamu akan sangat kesal jika tahu kalau Sukuna mulai hidup dengan sembrono. Seperti makan tidak teratur dan terjaga sepanjang malam misalnya.

“Oiya, Yuuji udah bangun. Kamu mau ketemu Yuuji?”

Tanyanya, meskipun hanya keheningan yang akan menjawabnya.

“Sebentar ya, aku bawa Yuuji kesini dulu”


“Mama, dedek Uji dateng nih” ujar Sukuna yang tengah menggendong bayi mungil bernama Yuuji.

“Ehh ketawa.. Uji seneng ya liat mama?” Sukuna tersenyum hangat sembari memainkan pipi gembul anaknya.

Sukuna mulai menarik kursi yang ada di samping ranjangmu dan duduk di atasnya.

“Kamu pengen gendong Uji juga?”

“Kamu bangun dulu, sayang. Biar bisa gendong dan main sama Uji”

“Coba Uji.. suruh mama bangun”

“Mama bangun! Uji mau main cama mama!” Ujar Sukuna, meragakan suara anak kecil.


tok tok tok

Terdengar suara pintu yang diketuk dari luar.

Sukuna pun beranjak dari kursi dan membuka pintu yang memperlihatkan dua orang yang ia kenal.

“Nyampe juga lu berdua” ujar Sukuna sembari terkekeh.

“Mahito kaga jelas banget! Dia salah baca maps! Harusnya belok sebelum pertigaan yang ketiga. Eh, dia ngasih taunya belok di belokan abis pertigaan. Nyasarnya jauh banget!” ujar Gojo.

“Lu berisik, bikin gua ga bisa konsentrasi!” balas Mahito.

Gojo baru menyadari bahwa Sukuna tengah menggendong seorang bayi.

“Su? Ini anak gua?” tanya Gojo, tanpa dosa.

Diam-diam Mahito mencubit Gojo dan berbisik.

“Orgil! Ga liat Sukuna lagi kacau gini? Masih aja lu bercandain”

Gojo hanya meringis kesakitan. Sedangkan Sukuna hanya menatap mereka dengan bingung.

“Oh iya. Halo, om! Ini dedek Uji” ujar Sukuna yang sukses membuat Gojo dan Mahito merinding geli mendengarnya.

Pasalnya mereka tidak pernah mendengar Sukuna berbicara seperti anak kecil.

“Utututu sini om Jo gendong” ujar Gojo yang tangannya langsung ditepis oleh Sukuna.

“Gak boleh! Kotor. Lu abis dari perjalanan jauh!” balas Sukuna.

“Gua naro Yuuji dulu di ruang inkubator. Lu berdua disini ya, jagain istri gua dulu. Sebentar.” lanjutnya.


“Luv.. Sakit banget ya?” ujar Gojo yang melihatmu terbaring lemah.

“Kalo ga sakit mah ga bakal di rumah sakit” balas Mahito.

“Diem lu”

Untungnya sebelum percekcokan terjadi, Sukuna datang.

“Jangan berisik, istri gua perlu istirahat” ujar Sukuna.

Gojo dan Mahito langsung terdiam dan mengangguk.

“Kalian ke rumah gua dulu gih. Mandi, terus istirahat. Nih kunci rumah sama mobil” Sukuna memberikan mereka dua buah kunci.

“Lu bawa mobil?” Tanya Mahito.

“Iya lah. Buat bawa dia ke rumah sakit. Mobilnya ada di parkiran paling ujung ya” jelasnya.

“Gapapa kita tinggal?” tanya Gojo.

“Iya, kan lu berdua tamu jauh. Nanti kalo udah istirahat, lu berdua kesini lagi gapapa”

“Oiya, maklumin aja ya kalo agak berantakan” sambungnya.


“Jo... ntar mampir steam mobil dulu” ujar Mahito yang baru membuka pintu bagian penumpang.

“Ngapa?” tanya Gojo

”....banyak darah yang udah kering”

“Yaudah, ntar lu liatin aja di pinggir jalan. Kalo ada, kita mampir dulu”

“Iyeee”


“When you are alone”


10.18

Sukuna menunggu dengan cemas di depan pintu IGD. Ia terus merapalkan doa yang ia ingat. Doa sebelum makan pun tak luput ia baca.

Tidak lama kemudian, seorang perawat keluar dan menghampirinya.

“Anda keluarga dari ibu yang di dalam?” Tanyanya.

“Saya suaminya. Istri saya gimana keadaannya?”

“Begini, istri bapak mengalami pendarahan hebat yang dapat membahayakan si ibu dan jabang bayi. Jadi harus segera dilakukan tindakan operasi”

Tanpa pikir panjang, Sukuna menyetujuinya demi keselamatanmu dan tentu saja demi bayi yang kamu kandung juga.

“Baik, pak. Tolong selesaikan keperluan administrasi dan menandatangani surat persetujuan di bagian Administrasi terlebih dahulu ya”

Sukuna mengiyakan dan segera bergegas.


12.29

Sedari tadi Sukuna tidak bisa menunggu dengan tenang. Kakinya tidak berhenti melangkah kesana-kemari dan ia terus berdoa akan keselamatanmu dan bayimu.

“Kalo tadi pagi gua gak ninggalin dia sendirian di kamar, pasti dia gak bakal kaya gini” batin Sukuna yang dipenuhi penyesalan.

Beberapa saat kemudian, seorang perawat keluar dari ruang IGD dengan tergesa-gesa. Tentu saja hal itu membuat Sukuna panik.

“Kenapa, sus??? Ada apa?? Jawab!”

Jangan heran, Sukuna kalau sudah panik atau marah tidak akan memedulikan tata krama. Siapapun akan ia bentak.

“S-saya mau ngambil kantong darah. Mbak yang di dalem kekurangan banyak darah. Permisi” jawabnya sembari berlalu.

Sukuna sudah maslong, cemas tak tertolong. Ingin rasanya ia masuk ke dalam dan melihat keadanmu. Tapi ia mengurungkan dirinya dan berharap agar kamu baik-baik saja.


13.09

oooeeeekk oooeeeekkk oooeeekkk

Sayup-sayup Sukuna mulai mendengar suara tangisan bayi dari dalam ruangan.

“Suara bayi! Anak gua?! Anak gua lahir??!” ia terlihat sangat bersemangat mendengar suara tangisan bayi itu.

Seorang perawat pun keluar dan mempersilahkan Sukuna untuk masuk guna melihat bayi dan juga istrinya.

“Silahkan, Pak. Bayinya sudah dibersihkan”

Sukuna mulai memasuki ruangan dan melihatmu yang terlihat lemah tengah mendekap seorang bayi.

“Unaa” panggilmu dengan suara yang lemah.

Tentu saja, senyuman hangat menghiasi wajahmu yang terlihat sedikit pucat.

Sukuna segera memeluk dan menciummu, ia sangat lega melihatmu dan bayimu selamat.

“Una, liat deh. Anak kita mirip kamu banget ya? Hahaha”

“Rambutnya doang, lainnya mirip kamu”

“Oiya, kamu inget ga? Mimpiku yang dulu disuruh milih kotak kado?” Kamu baru saja mengingat sesuatu.

“Inget. Kamu milih kotak yang pitanya warna merah kan?”

Kamu tersenyum sebelum membalas.

“Iyaa. Kayanya itu pertanda deh, kalo anak kita warna rambutnya agak kemerahan kaya gini?”

“Terus kalo ada yang pitanya warna putih, kamu milih itu.. anak kita rambutnya jadi putih juga? Kaya Gojo dong?”

“Yaa ga gitu juga, ih!”

Sukuna hanya tertawa dan tangannya perlahan mulai menyentuh tangan mungil bayi yang tertidur pulas di atas dadamu.

“Hey, mungil! Ini papa” batin Sukuna.

“Kamu udah kepikiran mau namain anak kita apa?” tanya Sukuna.

“Udah. Namanya Yuuji, nanti dipanggilnya Uji. Lucu ga sih kalo manggil kalian? Una sama Uji? Hahaha aku jadi kaya punya dua bayi”

Sukuna tertawa sembari mengacak rambutmu pelan.

“Salam kenal, Uji. Ini papa Una” ujar Sukuna sambil menyentuh pipi Yuuji dengan lembut.

“Kamu udah kaya kenalan sama temen sebaya aja hahaha”


“Una, makasih banyak yaa. Dan maaf juga, aku selalu bikin kamu repot. Aku bahagia punya kamu, dan aku sekarang jadi lebih bahagia karna punya Uji juga”

“Apa sih? Harusnya aku yang berterima kasih. Aku berkali-kali lipat lebih bahagia karna punya istri sehebat kamu, dan juga punya anak selucu dan sekuat Yuuji”

Kamu tersenyum lega mendengarnya.

“Una, kalo aku ga ada.. kamu tetep sayang dan ngejaga Uji kan?”

“Kamu ngomong apa sih? Aku jelas akan ngejaga dan sayang sama kalian berdua sampe kapan pun”

Tanpa sadar, air matamu mulai menetes.

“Uji denger kan? Papa Una sayang banget sama Uji. Nanti Uji jangan nakal ya, nurut sama papa..”

”..kalo nanti kamu punya mama baru, jangan lupain mama yang ngelahirin kamu ya. Uji anak baik, anak kesayangan mama..” kamu menciumi bayi laki-laki yang tengah tertidur di dekapanmu.

Rahang Sukuna mengeras mendengar celotehanmu sejak tadi.

“Maksud kamu apa ngomong kaya gitu?”

Kamu memaksakan diri untuk tersenyum, meskipun air mata tak henti-hentinya membanjiri wajahmu.

“Aku pasrah, Una..”

Sukuna semakin tidak mengerti, ia menatapmu dengan tatapan memburu, seolah memaksamu untuk menjelaskan.

“Una, kamu ga liat? Mereka semua nunggu aku.. udah ga ada waktu lagi.” Ujarmu sembari menunjuk sudut-sudut ruangan yang terlihat kosong, tidak ada siapapun yang berdiri di sana.

“Siapa?? Mereka siapa??”

Kamu tidak menjawab dan memilih untuk menatap wajah suamimu sembari menyentuh wajahnya.

”..Tolong tepati janji kamu yaa, jagain Uji. Makasih.. Una. I... love you..” sambungmu sebelum memejamkan mata.

Tepat setelah itu, Yuuji menangis dengan kencang. Membuat Sukuna semakin panik lalu memanggil perawat dan dokter.

Seorang perawat menggendong Yuuji dan membawanya ke ruang inkubator. Sedangkan perawat lain sibuk memeriksa kondisimu.

“Dokter! Denyut nadinya melemah” pekik seorang perawat.

“Pak, tolong tunggu di luar dulu ya. Terima kasih” titah seorang perawat lain yang meminta Sukuna untuk menunggu di luar.


Sukuna kalut, pikirannya kacau. Semua pikiran buruk mulai menghantuinya.

Bagaimana jika istrinya benar-benar meninggalkannya? Apakah ia sanggup menjalani hidup tanpamu? Bagaimana ia akan merawat Yuuji seorang diri?

Ia hanya berharap agar kamu kembali sadar dan keadaanmu menjadi stabil.


“When you are alone”

Panik


07.05

Kamu dan Sukuna masih enggan beranjak dari kasur yang nyaman. Sesekali Sukuna menepikan rambut yang sedikit menutupi wajahmu.

“Mau sampe kapan meluknya?”

“Kenapa? Ga suka aku peluk?”

“Kamu meluknya dari semalem loh. Gak pegel?”

“Pegel...”

“Makanya, lepas dulu. Aku gak bakal kemana-mana kok”

Jujur saja, memeluk seseorang saat tengah hamil besar sangatlah tidak nyaman. Tapi mau bagaimana lagi? Kamu terlalu takut untuk melepas Sukuna. Bagaimana jika kejadian semalam saat kamu terjebak di dalam kamar mandi terjadi lagi?

“Ga mau lepas. Takuttt!”

“Takut kenapa? Kamu semenjak keluar dari kamar mandi jadi begini. Ada apa sih?” Sukuna penasaran karena kamu belum menceritakan apapun.

“Semalem kamu kok nyadar kalo aku ga ada di kamar?” Kamu malah balik bertanya.

“Semalem denger bunyi gedoran pintu, kenceng banget. Aku pikir ada maling. Jadi aku bangun, tapi kamu ga ada di sebelahku. Panik lah, jadi aku langsung lari ke sumber suara. Takut kamu kenapa-kenapa.”

“BUKAN DIGEDOR LAGI, ANJROT! TAPI DIDOBRAKKKK” batinmu.

“Kalo aku kekunci di dalem kamar mandi, kamu bakal ngapain? Langsung ngedobrak pintu?” Kamu masih ingin memastikan sesuatu.

“Ngaco. Bahaya tau main dobrak-dobrak gitu. Kalo kena kamu gimana?”

“Palingan aku buka paksa pake linggis” tambahnya.

Kamu tidak membalasnya.

“Tuh kan, semalem bukan Una. Untung gue diemin aja.” batinmu.

“Kenapa? Kok tiba-tiba nanya gitu?” Tanyanya.

”...semalem pas lagi di kamar mandi, tiba-tiba mati lampu. Aku manggilin kamu berkali-kali”

“Aku gak denger kamu manggil” potong Sukuna.

“Ish. Dengerin dulu”

“Iya iyaa. Terus akhirnya aku dateng?”

Kamu menarik napas panjang sebelum melanjutkan ceritamu.

“Iya, ada yang dateng. Suaranya persis kamu, tapi yang dia tanyain tuh bayi yang aku kandung doang. Aku ngerasa aneh, akhirnya aku diemin. Abis itu dia malah berusaha ngedobrak pintu..”

“Aku gak ngedobrak pintu” bantahnya.

”....emang bukan kamu. Tapi suaranya sama persis kaya kamu”

“Serius? Jadi bunyi yang aku denger itu.. itu?” Sukuna terkejut mendengar ceritamu.

Kamu hanya mengangguk.

Pasalnya, rumah yang kalian huni saat ini hanya ditinggali oleh kalian berdua. Jika itu perampok, harusnya ada jejak yang tertinggal kan?

Tapi nyatanya tidak ada jejak apapun, bahkan pintu dan jendela masih terkunci dan tertutup rapat. Tidak ada tanda-tanda kerusakan akibat dibuka secara paksa.

“Serius! Lutut aku rasanya lemes banget, sampe ga kuat buat berdiri”

Sukuna segera merengkuhmu.

“Maaf, yaa.. semalem aku gak denger kamu manggil. Jangan takut lagi, aku gak akan kemana-mana”


08.18

“Hey, sarapan dulu” ujar Sukuna yang tangannya tengah kamu jadikan bantal.

“Ga laper”

“Tapi baby kita laper. Nanti dia nangis loh kalo kamu gak makan.” bujuknya.

Kamu tidak menjawabnya.

“Aku bikinin nasi goreng, mau?”

“Mau. Tapi aku ikut”

Sukuna hanya tertawa dan mengetuk dahimu pelan.

“Hahahaha ngapain? Gak usah. Kamu disini aja, istirahat. Kamu aja masih lemes gini”

“Gamau, takut” rengekmu.

“Sebentar doang”

”...yaudah, kamu bikin roti aja”

“Lama dong? Belom bikin adonannya, resting, terus di oven dulu” ia malah menggodamu.

“Ish. Maksudnya roti tawar gitu kamu olesin selai aja, biar cepet”

“Hahahaha iyaa. Tunggu ya”

“Jangan lama-lama! Satu menit aja!”

“Satu menit mah aku baru selesai cuci tangan doang”

“Gamau tau! Pokoknya jangan lama-lama!”

“Iyaa, sayang” balasnya sebelum berlari menuju dapur.


08.21

Kamu hanya berbaring di ranjang selama menunggu Sukuna membuatkanmu roti untuk sarapan.

Sesekali kamu juga mengajak bayi yang berada di dalam perutmu mengobrol, meskipun hanya kamu yang bicara.

“Kamu laper ya? Sabar yaa, papa Una lagi bikin sarapan buat kita” ujarmu sembari mengelus perutmu.

KREAK

Seketika kamu mengehentikan aktifitasmu dan mulai melihat sekeliling kamarmu.

“Perasaan gue doang kali ya?”

KREAAKK

Lagi-lagi kamu mendengar suara ranjangmu seolah ada yang bergerak atau duduk diatasnya.

“PLIS... GUE GA GERAK SAMA SEKALI, MASA BUNYI???”

Kamu berusaha mengabaikannya.

“Kalo bunyi lagi, berarti beneran ada yang ga beres. Kalo ga bunyi, berarti tadi bukan apa-apa”

KREEEEAAKKKK

Suara itu kembali terdengar, kamu pun segera memanggil nama suamimu dengan sekuat tenaga.

“UNAAAAAAA— ARRGHHH”

Saat memanggil namanya, tiba-tiba kamu merasakan sakit yang luar biasa pada perutmu.

“UNAAA—”

CEKLEK

Sukuna yang baru saja memasuki kamar dengan membawa nampan berisi beberapa potong roti, buah, dan susu dihadapkan dengan pemandangan yang mengerikan.

Bagaimana tidak? Ia melihatmu bersimbah darah dengan air mata yang membanjiri wajahmu.

Ia segera meletakkan nampan itu di atas meja dan menghampirimu.

“Una... sakit..”

“Atur napas, aku ambil tas sama kunci mobil. Kita ke rumah sakit”

Ia panik, tapi berusaha tenang dihadapanmu. Untung saja kamu telah menyiapkan tas darurat yang berisi kebutuhanmu dan bayimu ketika melahirkan.

”...arrghh.. Unaa..”

“Pegangan. Pegangan aja sama aku. Tahan sebentar yaa”

Sukuna segera menggendongmu dan membawamu ke rumah sakit terdekat.


“When you are alone”

Sukuna?


Kamu tengah berada di kamar mandi, tentu saja kamu hanya seorang diri. Ah, tidak.. tepatnya kamu berdua bersama bayi yang ada dalam kandunganmu.

Sukuna tertidur sangat pulas, kamu panggil berkali-kali pun ia tidak bergeming. Mungkin baginya suaramu seperti melodi yang indah hingga membuatnya semakin nyenyak dalam tidurnya.

Setelah mencuci tangan, kamu memilih untuk membasuh wajah agar terasa lebih segar.

Kamu memejamkan matamu agar tidak ada air yang masuk dan membuat matamu perih.

Namun ketika kamu kembali membuka mata, kamu tidak dapat melihat apapun.

Sepertinya tengah ada pemadaman listrik?

“Ya Allah, gini amat nasib gue” batinmu yang tengah merasa panik yang teramat sangat.

Kegelapan membuat indera penglihatanmu tidak berfungsi dengan baik. Dan karena itu lah jantungmu mulai berdetak tidak karuan, bahkan untuk bernapas pun terasa sangat berat.

“UNAAAAA!” jeritmu, berharap agar ia segera tiba.

“UNA MANA SIH? YA ALLAH, GUE PENGEN NGERABA2 PINTU TAPI TAKUT” batinmu.

Ya, kamu hanya berdiri di tempat semula. Tidak bergerak sama sekali, karena kegelapan membuatmu merasa takut untuk bergerak.

Benar. Bagaimana jika saat kamu sedang meraba-raba untuk membuka pintu, tiba-tiba kamu menyentuh “sesuatu”?

Membayangkannya pun membuatmu bergidik ngeri.

“UNAAAAAAAAAAA! PLISSS! UNAAAA! TOLONGGGG!” Jeritmu lagi.

“UNAAAAAAAAA”

Ketika kamu mulai putus asa, kamu mendengar suara ketukan dari pintu kamar mandi.

Tok tok tok

“Una?” pikirmu.

“Kamu di dalam?” Tanyanya dari luar.

“Un—” Kamu menghentikan ucapanmu.

“Bayi aku gimana?” Lanjutnya.

Kamu membisu. Jantungmu berdetak semakin liar dan pikiranmu mulai kacau.

“Suaranya kaya Una.. tapi kok kaya beda?” pikirmu.

Sukuna yang kamu kenal, dia akan memprioritaskanmu melebihi apapun.

“Bayiku gimana, sayang?” Ujarnya lagi dari luar.

Kamu masih terdiam.

“INI BUKAN UNA, ANJROTTTT. NANGIS AJALAH GUE”

Sukuna yang kamu kenal, ia selalu menyebut bayi kalian dengan sebutan “baby kita”. Selalu dengan kata “kita”, karena itu adalah buah hati kalian berdua.

“Kamu di dalam kan?” Tanyanya lagi dan lagi.

Kamu memilih untuk tetap bungkam. Hingga orang yang bersuara mirip Sukuna itu tidak lagi bertanya.

Keheningan kembali menerpa.

Namun, tiba-tiba...

BRUAKKKK

Terdengar suara pintu kamar mandimj tengah didobrak paksa dari luar.

“YA ALLAH. ASTAGHFIRULLAH. GUE HARUS GIMANA INI? TADI UDAH GUE KUNCI KAN??”

BRUAAAKK

Lagi-lagi sosok itu kembali menghempaskan tubuhnya ke pintu.

Kakimu mulai terasa lemas, seolah tulang-tulang tidak lagi mampu menopang tubuhmu.

Suara dobrakan mengerikan tadi mulai berganti dengan suara yang sangat familiar.

“KAMU DIMANA? DI DALEM?” tanyanya dari luar.

“KAMU GAPAPA KAN? JAWAB! AKU PANIK” tanyanya lagi.

“Ini... beneran Una kan?” batinmu yang masih dipenuhi keraguan.

“JAWAB AKU! HARUSNYA TADI KAMU BANGUNIN AKU KALO MAU KEMANAPUN DAN BUTUH APAPUN”

“Ini Una..” batinmu yang merasa lega.

Kamu pun berjalan dengan susah payah menuju pintu dan membuka kuncinya.

Saat kami membuka pintu, kamu melihat sosok suamimu yang berdiri dengan raut wajah cemas sembari membawa ponselnya sebagai senter.

“Unaa..” ujarmu dengan lemas.

“Kamu gapapa? Ada yang luka?” Tanyanya sembari memegangi bahumu.

Kamu langsung menginjak kakinya, untuk memastikan.

“Kok nginjek?”

“Gapapa. Ternyata ini Una beneran” jawabmu.

Sukuna terlihat sedikit kebingungan.

“Ayo ke kamar, istirahat. Semoga aja besok pas bangun, listriknya udah nyala lagi” ujar Sukuna.

“Ga kuat jalan.. lemes banget” ujarmu.

Benar, sendimu terasa seperti jelly setelah kejadian menegangkan tadi.

Tanpa basa-basi, Sukuna segera menggendongmu.

“Aku berat”

“Kenapa? Aku kan kuat” jawabnya dengan percaya diri.


“Una”

“Apa? Lain kali kalo mau ke kamar mandi atau butuh apa-apa, langsung bangunin aku.”

“Kamu susah dibangunin”

“Guyur aja”

“Hehehe ini baru Una yang asli” ujarmu sembari menyentuh wajahnya.

“Maksudnya apa sih? Ya masa palsu?”


“Unaaa”

“Senterin ke depan. Kalo tangan kamu dua-duanya megangin aku, kamu mau nyenterin apa?”


“When you are alone”


Kamu tengah duduk bersandar diatas ranjang sembari membolak-balik halaman buku novel yang sedari tadi kamu baca.

“Seru banget bukunya?” Tanya Sukuna yang datang membawakanmu susu untuk ibu hamil.

Kamu mengangguk dan menatap Sukuna dengan mata berbinar.

“Tokohnya mirip kamu, bagi orang-orang keliatan galak. Padahal aslinya engga”

“Emang aslinya aku gimana?”

“Ga ada galak-galaknya, posesif, terus...”

“Terus?”

“Sayang sama aku hehehehe”

Mendengarnya, Sukuna hanya tertawa dan duduk disebelahmu.

“Una, kayanya makan almond bites enak deh?” Pancingmu.

“Mau?”

Kamu mengangguk dengan semangat.

“Yaudah ini diminum dulu, keburu dingin.”

Kamu meminumnya sampai habis meskipun rasanya terlalu kental.

“Una, kamu masukin susunya berapa sendok?”

“Delapan”

“Banyak banget??? Tiga aja cukup tauu”

“Gapapa, biar vitaminnya banyak” jawabnya sembari beranjak.

“Aku mau beli almond bites dulu, kamu hati-hati ya di rumah” pamitnya.

“Iyaa. Hati-hati di jalan, papa Una”


Saat ini kamu tengah memainkan ponselmu, sekadar megulirkan laman pinterest guna mencari inspirasi dekor untuk kamar bayi.

Sesekali kamu membetulkan posisi dudukmu yang terasa tidak nyaman, meski kamu tengah duduk di ranjang yang harusnya terasa sangat nyaman.

“Kamu nanti jangan nakal yaa, nurut sama mama. Liat nih, mama duduk aja rasanya pegel banget” monologmu sembari mengelus perutmu yang sebesar semangka.

CKLEKK

Kamu mendengar suara kenop pintu yang dibuka, kamu pun menoleh ke arah pintu kamarmu yang masih tertutup rapat.

“Perasaan gue doang kali ya?” batinmu yang memilih tidak memedulikannya dan kembali fokus memainkan ponselmu.

Tidak berselang lama, kamu dikejutkan dengan suara derit pintu kamarmu yang terbuka.

KRRRRIEEEETTT

Kamu mematung sesaat.

“Una?” Panggilmu, memastikan bahwa itu ulah Sukuna.

“Una udah pulang?”

Tidak ada sahutan.

KRREEEKKK

KRIEEEETTTT

Kini pintu kamarmu sedikit berayun, seperti akan tertutup lalu kembali terbuka lebar.

Kamu berusaha tenang dan tetap berpikir positif. Di siang bolong seperti ini mana mungkin ada makhluk halus yang berkeliaran?

“Una?”

Lagi-lagi kamu memanggil nama suamimu.

“Sukuna?”

Namun tetap saja, tidak ada sahutan darinya.

“Hahahaha Una, kamu udah mau jadi bapak-bapak loh. Masih aja bercanda kaya gini” Kamu memaksakan diri untuk tertawa, bahkan suaramu sedikit bergetar.

Seketika ayunan di pintu kamarmu berhenti.

Hening.

Sangat hening hingga membuatmu merasa sangat panik? Tidak, mungkin lebih tepatnya merasa takut?

Untuk mengurangi rasa takutmu, kamu menulis cuitan di aplikasi burung biru.

(Tweet di chapter sebelumnya)

Namun balasan Sukuna membuat pikiranmu merasa tidak karuan.

Tapi aku lagi di indoapril. Tadi kan kamu minta dibeliin almond bites..

“ANJROT TERUS TADI YG MAININ PINTU SIAPA KALO BUKAN UNA??” batinmu, merasa kalut.

Detak jantungmu berpacu dengan cepat, bahkan jari-jarimu terasa sangat dingin karena rasa takut yang menyergapmu.

BLAMMM

Belum reda rasa takutmu, kamu kembali dikejutkan dengan pintu kamarmu yang tertutup dengan sangat keras hingga menimbukan suara yang keras.

“PLIS, UNAA.. CEPETAN PULANG!” jeritmu dalam hati sembari bersembunyi di balik selimut dan berharap agar suamimu lekas kembali.


“When you are alone”


Tik.. Tok.. Tik.. Tok.. Krikkk krikkkk krikkk

Suara denting jam dan jangkrik yang bersahutan terdengar sangat jelas.

Entah sudah pukul berapa saat ini, kamu tidak dapat melihat jam yang menempel di dinding karena tidak adanya cahaya.

Bukan karena mati listrik, tapi kamu memang sengaja mematikan lampu supaya tidur menjadi lebih berkualitas.

Yang jelas, Sukuna masih terlelap di sebelahmu. Kamu ingin kembali tertidur, tapi mimpi yang baru saja kamu alami membuatmu sulit terlelap.

“Unaa..” ucapmu lirih sembari menggenggam tangannya dan berusaha menutup matamu rapat-rapat.


Mimpimu tidak seram sebenarnya, tapi terasa nyata dan itu membuatmu sangat sulit untuk melupakannya.

Benar, kamu hanya bermimpi mendapat dua buah kotak kado dari seseorang. Tapi kamu tidak melihat wajah orang itu dengan jelas.

“Pilih satu dari dua hadiah ini” ujar orang itu sembari menyodorkan dua kotak kado dengan pita yang berbeda.

Berwarna hitam dan merah.

Kamu pun memilih kotak dengan pita merah. Alasannya sederhana, Sukuna menyukai warna merah. Dan kamu menyukai hal-hal yang berkaitan dengannya.

“Yakin?” Tanya orang itu.

Kamu mengangguk dengan mantap.

Orang itu menyeringai dan tawa melengking keluar dari mulutnya.

Kamu terkesiap dan bangun dari mimpi itu dengan napas tersengal-sengal layaknya telah berlari puluhan kilometer.

Entah apa maksud dari mimpi itu, apakah kamu salah memilih kotak yang bahkan belum sempat kamu buka? Tapi sepertinya kamu sedikit lega karna tidak melihat isi kotak itu setelah melihat reaksi orang itu.


“Unaa, aku ga bisa tidur” ujarmu pelan agar tidak membangunkan Sukuna.

Kamu mengedarkan pandanganmu untuk melihat seisi ruangan. Gelap, batinmu.

Saking gelapnya, mungkin saja ada sosok yang bersembunyi dibalik kegelapan itu. Membayangkannya membuatmu bergidik.

Kamu segera memeluk lengan Sukuna yang masih terlelap, berusaha menghilangkan rasa takut akibat imajinasi yang kamu pikirkan sendiri.

“Hmm? ...belum tidur?” gumam Sukuna yang terbangun karena tangannya terasa pegal.

“Ga bisaa. Takuttt” kamu semakin mengeratkan pelukanmu pada lengannya yang kekar itu.

Sukuna segera membalik tubuhnya yang tengah terlentang ke arahmu dan mengelus pucuk kepalamu

“Masih takut?” Tanya sukuna yang tangannya tidak berhenti mengelus kepalamu.

Kamu hanya menggangguk.

“Daripada meluk tangan, mending kamu deketan ke sini terus meluk aku. Biar gak takut lagi”

“Mau peluk, tapi ga bisa..”

“Kenapa gak bisa?”

“Perut aku gede gini, gimana meluknya?” Jawabmu lirih.

Benar, perutmu yang semakin membesar itu membuatmu kesulitan.

“Aku lupa. Yaudah, kamu madep sana. Biar aku peluk dari belakang”

“Gamau ngadep jendela.. takut”

Sukuna hanya terkekeh dan mencium dahimu.

“Mama kamu lucu kan? Nanti kalo kamu lahir, temenin papa buat jagain mama kamu ya. Biar gak ketakutan lagi” ujar Sukuna sembari mengelus perutmu.

“Kamu elus gitu, aku makin ga bisa tidur”

“Kenapa?”

“Bayinya nendang-nendang terus, kamu ga ngerasa?”

“Aku kira perut kamu geter karna laper hahahahaha”

“EMANG KALO AKU LAPER PERUT AKU KAYA GITU?”

“Engga, sayang. Aku bercanda. Udah, ayo tidur..”

“Bercandanya ga lucu”

“Iya, sayang. Aku emang gak lucu, tapi aku keren.”

“Siapa yang bilang?”

“Kamu.... kan?”

Kamu tertawa geli mendengarnya.

“Hehehehe iya. Una keren!”

“Iya dong. Cium dulu kalo gitu”

“Tidur.” Balasmu.


“When you are alone”


“Gua nitip istri gua dulu ya, bentar.” Ujar Sukuna.

“Iyeee. Udah sono pergi” balas Shoko yang sudah jengah mendengar Sukuna.

“Awas ya kalo istri gua sampe kenapa-kenapa! Gojo, lu jangan macem-macem!” Ancam Sukuna entah yang keberapa kali.

Gojo yang sedang menguncir rambutmu seperti Pucca langsung menghentikan aktivitasnya.

“Gua ga ngapa-ngapain... nguncir rambut doang” ujar Gojo.

“Tenang aja, Unaa. Aku aman kok disini” Kamu berusaha menenangkan Sukuna yang sekarang dua kali lipat lebih sensitif dan paranoid setelah kamu dinyatakan tengah mengandung.

“Papa pulang dulu yaa, mau ngurus sesuatu. Nanti kamu sama mama bakal papa jemput lagi. Jangan nakal ya, kasian mama” Sukuna berpamitan pada jabang bayi yang ada di perutmu, dan sesekali mengelusnya.

Agak merinding sebenarnya mendengar itu, terlebih disana ada beberapa pasang mata yang menyaksikan.

“GELI BANGET GUA DENGER LU NGOMONG GITU” ujar Gojo.

“Bulu kuduk gua ampe berdiri nih” Geto menunjukkan kakinya.

“BULU KAKI LU KAN EMANG GITU ANJIR, AGAK NGEMBANG” ujarmu.

“NGEMBANG-NGEMBANG, EMANGNYA BULU KAKI GUA GULALI APA? NGEMBANG SEGALA” balas Geto.

“Sayang, jangan teriak-teriak. Kasian baby kita, nanti kaget” Sukuna berusaha mengingatkanmu.

“SU, MENDINGAN LU BALIK DAH. SEBELUM TEFLON DI TANGAN GUA MELAYANG” Kini Shoko mulai hilang kesabaran karna Sukuna tidak lekas pergi.

“Tau. Dari tadi pamitan tapi kaga pergi-pergi” sahut Gojo.


“Ngapain pindah sih? Mana jauh banget lagi” tanya Gojo sembari melahap sepotong Pizza.

“Sukuna kan tempat kerjanya pindah, jadi ya terpaksa pindah rumah biar lebih deket dari kantornya” jelasmu.

“Nanti kalo ada apa-apa, kabarin kita aja ya” ujar Shoko.

“Siap!”

“Mau minum air kelapa?” tawar Geto yang tengah mengeluarkan minuman dan camilan dari kantong belanjanya.

“Mau lah” kamu segera mengambil minuman itu dari atas meja.

“Ahhhhh~ Rasanya seperti di pantai~” ujar Gojo setelah meminum seteguk air kelapa.

“Ngapa? Rasanya kaya air laut?” Tanyamu

“Ngaco! Ya rasa air kelapa lah” balasnya

Gojo meneguk air kelapa ditangannya kembali.

“Aahhhhh~ seger banget. Rasanya seperti menjadi duyung yang berenang kesana kemari di lautan lepas” ujar Gojo sok puitis.

“Maksud lu kaya dugong?” Geto mematahkan jiwa puitis milik Gojo.

“KAYA PUTRI DUYUNG GITU, ANJIR! BERANTEM AJALAH KITA!” Gojo mulai hilang kesabaran.


“When you are alone”



Kamu dan Noritoshi tengah berpiknik di halaman belakang rumah kalian.

Sebenarnya piknik ini tidak direncanakan sebelumnya, hanya ide spontan yang keluar ketika melihat indahnya bunga-bunga yang kamu tanam mulai bermekaran.

“Kamo, kok kamu ga bilang kalo bisa bikin toast seenak ini?” tanyamu yang takjub setelah menggigit toast buatan suamimu.

“Kamu suka?”

Kamu hanya mengangguk sembari menikmati toast yang ada di tanganmu dengan lahap.

Noritoshi tersenyum hangat melihatmu begitu lahap.

“Pelan-pelan aja makannya. Besok saya buatin lagi kalau kamu mau” ujarnya sembari tertawa.

“Bener?”

Noritoshi mengangguk mantap sebelum menjawab.

“Kamu minta saya buatin candi pun akan saya kabulin”

Kamu tertawa geli mendengarnya.

“Gombal mulu”

“Nggak gombal”

“Gombal”

“Nggak”


Acara piknikmu belum usai. Kini kamu tengah berbaring dengan paha Noritoshi sebagai bantalan.

Sedangkan Noritoshi fokusnya berpusat pada buku yang tengah ia baca.

“Kamo..”

“Hm?” balasnya, tanpa mengalihkan pandangannya dari buku tebal di tangannya.

Ide jahil mulai terlintas di pikiranmu, agar atensinya kembali padamu.

“Gombalin aku dong” pintamu yang sukses membuat Noritoshi menutup bukunya.

“Aneh. Kamu kan tau, saya nggak bisa gombal?” balasnya.

“Bisaaaaa. Coba dulu”

“Saya nggak bisa”

“Ayo, Kamo... Tapi jangan gombalan bapak kamu”

“Emang kamu pernah denger gombalan bapak saya?” tanyanya dengan wajah serius.

Hening.

Kamu masih berpikir.

“Anjir, ngapa jadi bapaknya? Tadi gue ngomong apaan sih?” batinmu.

Masih hening. Noritoshi masih menatapmu dengan tatapan penuh tanya.

“Maksudnya bukan itu”

“Terus?”

“Yang kaya gombalan kamu dulu itu loh, yang nanyain aku tuh anaknya pak Gojo atau bukan”

“Oh, sebentar. Saya mikir dulu”

“Aku tunggu” jawabmu sembari terkekeh kegirangan.


“Udah belom mikirnya?”

“Kamu tau nggak apa bedanya kamu sama nyamuk?” ujarnya.

“Ga tau. Emang apa?”

“Kalau nyamuk yang ngedeketin saya, akan saya tepuk. Kalau kamu, saya peluk” jawabnya sembari mengecup keningmu.

Kamu segera menutupi wajahmu yang terlihat memerah karena malu.

Tawa sumringah pun tidak bisa kamu tutupi.

“Kamu sebahagia itu saya gombalin?” tanyanya.

“Hahahahaha abisnya kamu lucu” jawabmu yang masih menutupi wajah.

“Sumber tawa dan bahagiamu sederhana ya? Saya heran, soalnya kamu nggak pernah minta dibeliin ini itu ke saya.”

“Kenapa aku harus minta kalo semua yang aku butuhin udah kamu penuhi?” jawabmu dengan tenang.

Blush

Noritoshi langsung memalingkan wajah dan menutupi mulutnya.

Kamu hapal betul dengan tingkahnya ketika ia merasa malu dan salah tingkah.

“Saya kan suami kamu. Itu kewajiban saya” ujarnya kemudian.


“Kamo..”

“Ya?”

How much do you love me?

I don't know. I never tried to count uncountable things


ーENDー