Mahito dan Gojo


Mahito dan Gojo sedang menuju rumah yang kamu dan Sukuna huni.

Sejauh mata memandang, mereka hanya melihat pepohonan yang menjulang tinggi dengan dedaunan yang rimbun. Cukup sejuk namun sedikit menghalangi sinar matahari, sehingga membuat jalanan terlihat gelap.

“Rumahnya beneran lewat sini?” Tanya Mahito.

“Iyee, udah sesuai sama mapsnya kok” jawab Gojo.

“Demi dah, ini sepi banget. Gua ga liat orang lewat dari tadi”

“Jangankan orang, rumah aja jarang-jarang. Untung aja tadi di deket rumah sakit ada steam mobil yang buka”

“Masih jauh ga sih?”

“Engga. Bentar lagi nyampe”


Setibanya di halaman rumahmu, Gojo dan Mahito tidak kunjung keluar dari mobil.

“Jo.. gua mau pulang aja, Jo. Anterin gua ke bandara apa terminal kek, terserah.”

“Ga bisa, bro. Selain males, bensinnya juga ga bakal cukup”

Tidak lama, ponsel Gojo berdering yang menandakan adanya pesan masuk.

“Jo, gua baru inget. Tolong ya cuciin sprei di kamar gua. Kemaren pengen gua cuci tapi gua belom bisa pulang, harus jagain anak sama istri disini. Bilangin Hito juga ya. Sorry ngerepotin kalian. Thanks!” —Sukuna

“To, Sukuna nge-chat gua. Baca dah” ujar Gojo.

Mahito pun membacanya dan hanya menghela napas.

“Dahlah, jauh-jauh kesini malah jadi upik abu”

“Yaudah, ayo. Masuk!”

“Tardulu ah”

“Takut lu? Cemen banget! Kaya gua dong, pemberani!”

“JINGAN! KAGA LAH! AYO DAH MASUK!”


Setelah beberapa saat berdebat dengan Mahito, Gojo pun membuka pintu dan memperlihatkan banyak noda darah yang berceceran di lantai.

Jika lupa, itu adalah darahmu tempo hari ketika mengalami pendarahan.

“Gua mau balik aja, jalan kaki. Bye!” Ujar Mahito yang berbalik arah namun segera ditahan oleh Gojo.

“Lebay lu ah. Baru liat ginian aja udah pengen pulang”

“Hawanya berat banget, Jo. Gua ga kuat, pusing banget”

“Duduk dulu gih di sofa. Anggep aja kaya di rumah sendiri”

“Pel, Jo.”

“Dih? Nyuruh”

“Lu ga ngerasa gimana gitu liat lantainya kaya gini?”

“Iya sih. Bentar”

Gojo mulai bergegas mencari kain pel, namun baru beberapa langkah berjalan, ia langsung berbalik.

“Lu butuh minyak ga? Buat oles-oles” tanya Gojo karena kasihan melihat Mahito yang terlihat pusing dan sedikit pucat.

“Ada? Minta dong!” Seru Mahito.

“Bentar, gua ambilin dulu”

“Ga nyangka, ternyata si Gojo masih punya sisi baik. Nawarin gua minyak angin segala” batin Mahito.

Tidak lama kemudian Gojo muncul dengan membawa sebotol minyak goreng di tangannya.

“Nih, buat oles-oles” ujar Gojo.

“BRENGSEK! GUA KIRA LU MAU BAWAIN GUA MINYAK ANGIN”

“Marah-marah mulu lu?! Ga ada. Lu minyakin dulu aja, nanti gua angin-anginin”

“GA JELAS LU! SONO CARI KAIN PEL AJA!”

“GUA TARIK KATA-KATA GUA YANG BILANG GOJO BAIK” batin Mahito yang kesal.


Setelah menemukan kain pel beserta pewangi lantai, Gojo pun mengepel lantai yang terkena noda darah hingga menuju kamarmu.

“Yang ono masih noh” ujar Mahito sembari menunjuk.

“Kok gua jadi kaya babu lu ya? GANTIAN!”

“Yaela, Jo. Tanggung itu”

“Kaga ada tanggung-tanggungan!”

Akhirnya Mahito menggantikan Gojo untuk mengepel. Setibanya di depan pintu kamarmu, Mahito merasa ragu untuk membukanya.

Namun Gojo segera membuka pintunya tanpa pikir panjang.

Mereka terkejut melihat banyaknya noda darah yang telah mengering pada sprei putih yang melapisi kasur milikmu dan Sukuna.

“Gila..” celetuk Mahito.

“Kok tiba-tiba dingin ya? Padahal AC-nya ga nyala” gumam Gojo yang tengah memegang remot AC.

Mahito segera menoleh ke arah Gojo.

“Cepetan, Jo! Yang kena darah bawa ke kamar mandi. Cuci! Gua yang ngepel.” Titah Mahito sembari mengepel lantai dengan tergesa-gesa.

“Enak aja. Bareng lah! Masa gua nyuci sendiri?”

“Batu banget lu jadi orang. Yaudah itu siapin dulu. Buruan!”

“Buru-buru amat lu kaya lagi dikejar set—” celetuk Gojo yang segera dibungkam oleh Mahito.

“Orgil! Jangan ngomong macem-macem!”

Setelah selesai mengepel lantai yang terkena noda darah, mereka pun segera keluar dari kamar itu dan bergegas menuju kamar mandi untuk mencucinya.


srekk srek srekkk srekk

Gojo dan Mahito tengah bahu-membahu menyikat kain sprei yang tak kunjung bersih.

“Darahnya my luv bandel juga ya?” celetuk Gojo yang ingin menuang cairan pemutih pakaian.

“Jangan langsung dituang anjir! Yang ada rusak nih kain! Gitu aja gatau”

Sorry nih bukannya sombong. Gua mah kaga pernah nyuci, nanti jari-jari gua yang indah ini rusak”

Sontak saja, Mahito langsung memukul Gojo dengan gayung.

“Ngomong nih sama gayung”


srek srekk srekk srekk

Gojo dan Mahito kembali tekun menyikat kain yang terlihat mulai bersih.

“Coba dah pake sabun mandi. Katanya ampuh” ujar Gojo.

“Kata siapa?”

“Kata temen emaknya nenek buyut gua”

“Pernah ketemu? Emang masih idup?”

“Kagatau, gua ngarang”

“Orgil” Tapi Mahito tetap menuang sabun mandi cair untuk mencucinya.

“Eh, beneran bersih!” Seru Mahito.

Meskipun masih sedikit terlihat bekasnya karena nodanya telah lama mengering.

“Kece! Tinggal bilas aja nih” ujar Gojo yang mulai menyiapkan ember untuk membilas.

Ketika ia mulai menyalakan keran, tiba-tiba ia merasakan hawa dingin yang menyapu tengkuknya.

“Gara-gara kelamaan kena air kali ya?” pikirnya.

“KHEKHEKHEKHEH”

“Ketawa lu freak banget, To. Mana cempreng” kritik Gojo.

“Apaan si? Gua diem aja daritadi” elak Mahito.

“Bentar, jadi bukan lu juga yang ketawa?” Sambungnya.

Mereka terdiam dan saling berpandangan.

Lagi-lagi mereka mendengar suara tawa aneh tadi, namun suaranya semakin mengecil.

“Khekhekhekhekhe”

Mahito segera bergegas membilas kain yang mereka cuci, dan Gojo menyiram lantai kamar mandi hingga bersih.

“Khekhekhekhe udah... pulang..”

Gojo dan Mahito mematung seolah semua sendinya menjadi kaku.

tak.. tak.. tak.. tak.. tak..

Sosok itu mulai mengetuk jarinya ke tembok dengan irama yang sama. Suasana yang hening membuatnya terdengar begitu jelas dan keras.

Mereka pun memberanikan diri untuk melihat ke arah pintu. Dan benar saja, disana tengah berdiri sesosok wanita bergaun merah darah dengan wajah yang mengerikan untuk dilihat.

“Bayi..ku.. di.. mana?”

Gojo dan Mahito tidak menjawab, mulutnya terasa sulit untuk digerakkan. Mereka hanya bisa berceloteh dalam hati.

“YA ALLAH, GUA HARUS BACA SURAT APA INI? GUA NGEBLANK. YANG GUA INGET MALAH SURAT CINTA UNTUK STARLA. YAELAH, ITU MAH LAGU. EMANG MEMPAN?” batin Gojo.

“SIAL. TANGAN GUA GEMETERAN” batin Mahito yang tangannya bergetar hebat.

Tidak ada jawaban, sosok bergaun merah itu kembali bertanya.

“Ada... di sana? Atau... di sana? Khekhekhekhe” tanyanya sembari menunjuk perut Gojo dan Mahito.

“KITA COWO, BGST!!” batin Gojo.

“Perut gua perasaan kaga buncit” batin Mahito.

Tanpa sadar, sosok itu mulai mendekati mereka berdua dengan tangan terjulur yang memperlihatkan kuku panjangnya yang tajam seolah siap untuk merobek apapun yang ada di hadapannya.

Sadar akan bahaya yang mungkin saja terjadi, Gojo nekat berlari melewati sosok itu.

“GATAU LAH, TEROBOS AJA! AAAAAAA” teriak Gojo sembari berlari dengan mata tertutup.

“GOSAT BJINGAN! KABUR GA NGAJAK-NGAJAK!” batin Mahito.

Ia pun mengikuti tindakan Gojo, yakni menerobos keluar dengan mata tertutup. Sayangnya, usahanya tidak semulus Gojo.

“LEPASIN GUA! LEPAAAASSS!! GUA COWO! GUA GA PUNYA BAYI!!” teriak Mahito yang masih memejamkan mata.

“Khekhekhekhe nyangkut ya?”

“Nyangkut?” batin Mahito.

Ia pun membuka mata dan menoleh ke belakang. Benar saja, bajunya tersangkut gagang pintu.


“When you are alone”