Sebuah Kejadian


Udara malam yang dingin tidak lagi kamu hiraukan, meski pipi dan kedua tanganmu menjadi sedingin es.

Kamu mulai membasahi tissue dengan air mineral yang ada di dalam tasmu tanpa banyak bicara.

”...maafin gua ya” Naoya mulai bersuara.

Kamu tidak menjawab, hanya fokus untuk menyeka luka goresan pada tangannya sebelum menutupnya dengan plester yang selalu kamu bawa di dalam tas.

“Pelan-pelan. Perih” titahnya yang hanya kamu balas dengan anggukan kecil.

Kamu terus saja diam, sedangkan Naoya hanya memperhatikanmu dalam diam.

Melihat tanganmu yang gemetar ketika menyeka lukanya, membuatnya ingin menanyakan beberapa hal padamu, namun ia urungkan sampai kamu selesai merawat lukanya.

“Lu.. ada yang luka gak?” tanyanya pada akhirnya.

Kamu hanya menggeleng pelan.

Tentu saja, Naoya tidak langsung mempercayai jawabanmu. Pasalnya kalian berdua sama-sama terjatuh akibat menghindari kucing hitam yang tiba-tiba melintas.

“Sikut lu berdarah gini apanya yang gak luka?” ujarnya sembari memegangi lenganmu yang luka.

“Masih sanggup gua bonceng gak? Kita cari apotek atau klinik sekalian” sambungnya.

“Ga usah..” jawabmu lirih.

“Plester lu udah abis, lu tempelin ke gua semua. Disini juga sepi, gak ada warung buka”

Kamu tidak membalas ucapannya dan hanya menunduk.

Naoya cukup peka, ia menyadari bahwa kamu tengah menyembunyikan tangisnya.

“Lu kenapa? Bagian mana yang sakit? Cepet, bilang ke gua!” Naoya terlihat begitu panik, takut kamu mendapat luka yang serius.

”...engga, gue beneran gapapa” jawabmu.

“Terus kenapa nangis?”

“Gue takut..”

“Maafin gua yaa. Udah bikin lu ketakutan sampe luka-luka gini” ujarnya, berusaha menenangkanmu yang masih sesenggukan.

”...luka lu banyak banget, kak. Gue takut kalo sampe lu–” belum selesai kamu bicara, Naoya segera memotongnya.

“Gua gapapa, nyawa gua ada sembilan hahaha”

“Dih, emangnya lu kucing?”

“Jangan cepu ya. Sebenernya gua ini bisa berubah jadi kucing” ujarnya dengan mimik wajah yang mendadak serius.

“Hahahahaha lu mah kucing garong, kak”

“Gitu dong, ketawa. Jangan nangis, gua bingung harus gimana kalo liat cewe nangis”

“Asli, kak. Lu nyebelin banget! Dibilang jangan ngebut, malah ngebutnya udah kaya lagi dikejar polisi”

“Tapi seru kan? Daripada pelan-pelan, ntar malah ketiduran di jalan”

“Gigi lu! Seru apaan? Nyawa gua kayanya berceceran dijalan tuh”

“Alay lu hahahaha”


Karena ponselmu dan Naoya sama-sama mati, kalian tidak bisa memesan taksi online. Sehingga terpaksa kalian pulang dengan menaiki motor milik Naoya seperti sebelumnya.

“Bisa berdiri gak?” tanya Naoya yang melihatmu masih terduduk di pinggir jalan.

“Kaki gue lemes banget kak”

Ia kembali menghampirimu dan membantumu untuk berdiri.

“Bisa naiknya gak? Kalo gak bisa, gua angkat”

Kamu malah tertawa mendengarnya.

“Udah kaya karung aja gue, ampe mau lu angkat-angkat segala. Gue bisa, kak” balasmu.

Mendengarnya, Naoya segera menaiki motornya dan menunggumu naik.

“Pegangan sama pundak gua”

“Iyaa”

“Udah belom?”

“Belom”

“Kok belom?”

“Kalo gue bilang udah, nanti lu nyuruh gue turun lagi.” Jawabmu.

Lagi-lagi Naoya tertawa.

“Engga lahh, kocak hahahahaha”

“Kak, lu beneran masih kuat bawa motor?” tanyamu, merasa khawatir.

“Kuat lah! Gua cowo, harus kuat!” jawabnya dengan tegas dan penuh percaya diri.


“Pegangan” titahnya.

“Ini gue udah pegangan” balasmu.

“Pegangan ke badan gua, jangan ke motor”

“Modus lu”

“Sembarangan! Mau selamat sampe rumah gak?”

“Mau lah!” jawabmu cepat.

“Yaudah, pegangan!”

“Iyaa, iyaa.. Bawel”


“No Silhouette”