Why Won't You Love Me



Waktu terus berpacu, meninggalkanmu yang masih termenung di meja kerjamu tanpa adanya tanda akan beranjak dalam waktu dekat. Satu persatu rekanmu telah meninggalkan ruangan hingga rasanya ruangan itu kian sepi seperti hatimu saat ini.

Kamu terhanyut dengan pemikiran yang ada di kepalamu, bahkan suara berat Sukuna yang memanggilmu sejak tadi tidak kamu hiraukan.

Melihatmu yang mengabaikannya, ia menarik kursi lalu duduk tepat di sebelahmu. Ia tidak mengeluarkan sepatah kata pun, ia hanya diam menunggumu menyadari keberadaannya.

Kamu menghela napas panjang sebelum akhirnya dikejutkan oleh Sukuna yang tengah duduk di sebelahmu ketika kamu menoleh.

Astaghfirullah! Lu ngapain sih? Bikin orang kaget aja tau ga?” ujarmu.

“Dari tadi udah gua panggil-panggil. Lu nya aja yang bolot,” balasnya sembari memutar bola matanya dengan jengah.

“Masa?” tanyamu yang hanya dibalas deheman olehnya.

Melihat jam yang ada pada ponselmu, kamu pun segera merapihkan meja kerjamu serta mengemasi barang-barangmu; bersiap untuk pulang.

Are you okay?” tanya Sukuna tiba-tiba.

“Hm? Yes.. I guess,” balasmu sembari menunjukkan seulas senyum padanya.

“Pulang kerja bisa ikut gua sebentar?” tanyanya lagi.

“Kemana?”

“Nanti juga tau,” jawabnya.

Kamu pun menyetujuinya, mungkin Sukuna ingin mengajakmu berburu promo makan atau yang semacamnya; begitu pikirmu.


Area parkir sudah tampak sepi, hanya tersisa beberapa kendaraan termasuk sepeda motor milik Sukuna.

“Tunggu sini,” titah Sukuna padamu.

Sukuna berlari kecil ke arah pos satpam guna mengambil helm yang semula ia titipkan, lalu kembali ke area parkir untuk mengambil motornya, baru setelah itu ia datang menghampirimu.

“Pake,” ujarnya sembari mengulurkan helm yang ada di tangannya padamu.

“Lu gimana?” tanyamu karena hanya melihat satu buah helm di tangannya.

“Gampang. Lagian kan nanti helmnya juga lu balikin lagi ke gua,” balasnya.

“Lu pake aja, nggak usah banyak tanya. Ayo naik,” sambungnya.

Kamu pun mengikuti ucapannya, lalu menaiki motor yang Sukuna kendarai. Setelah ia lajukan motornya, Sukuna kembali berbicara.

“(y/n)” panggilnya.

“Ya?” sahutmu.

“Gua tau lu lagi sedih. Gua tau lu kecewa. Tapi tolong, jangan kaya gini yaa.. Semua orang jadi ikut sedih liat lu murung dan banyak diem kaya sekarang,” ujarnya.

Sukuna melajukan motornya dengan kecepatan rendah, jalanan saat itu pun tergolong sepi; sehingga kata per kata yang ia ucapkan dapat terdengar olehmu dengan jelas.

“Gue ga kenapa-kenapa kok,” elakmu.

Sukuna tidak menanggapi, ia tampak fokus dengan jalanan yang ada di depan. Kalian sama-sama membisu, hanya suara hembusan angin yang berderu. Namun, Sukuna memang sengaja tidak ingin merespon ucapanmu.

“Una? Kita mau kemana?” tanyamu yang lagi-lagi tidak mendapat jawaban dari Sukuna.

“Una?” panggilmu.

Sukuna tersenyum sekilas meski tidak dapat kamu lihat, lalu ia mulai berbicara.

“(y/n), lu tau nggak kalo helm gua itu lain daripada yang lain?” tanyanya.

“Masa? Sama aja, ah.” balasmu.

“Kok lu diem aja?” tanyanya lagi.

“Gue dari tadi ngomong, Unaaa!” jawabmu sedikit kesal.

“Yaudah, karna lu diem aja. Jadi langsung gua kasih tau aja kalo gitu,” Sukuna menjeda ucapannya.

“Orang lain nggak akan denger suara lu selama lu pake helm itu. Lu mau nangis, mau ngomong, bahkan mau teriak sekalipun nggak akan ada yang denger.” sambungnya.

“Bohong,” cicitmu.

“Lu bebas buat nunjukin emosi lu,” ujarnya.

“Gue gapapa...” cicitmu lagi.

“Lu boleh nangis sekeras-kerasnya, jangan ditahan,” ucapnya.

“Nangis bukan berarti lu lemah, bukan berarti lu kalah. Nggak apa-apa hari ini lu nangisin dia. Tapi setelah ini lu harus bangkit, harus ceria lagi kaya biasanya.” sambungnya.

Mendengar itu, kamu terdiam. Lalu tanpa sadar buliran bening air matamu mulai mengalir membasahi pipi.

Yang kamu rasa, hatimu terasa sangat sesak. Penuh sekali beban yang kamu tahan hingga akhirnya kamu menyerah dan memilih untuk meluapkan sedikit bebanmu saat ini.

Bohong jika Sukuna tidak mendengar suara isakanmu. Ia mendengar dengan jelas suara tangis dan racauanmu. Ia mendengar semuanya hingga membuat hatinya getir, terlebih ketika ia merasakan tanganmu yang menggenggam ujung jaketnya dengan kuat seolah tengah menahan rasa sakit yang tidak bisa kamu bagi padanya.

“Gue seenggak pantes itu ya buat dia?” cicitmu dengan suara parau.

“...gue childish banget ya? Iri sama Shoko karna selalu kak Geto pamerin di medsosnya..” sambungmu.

Sukuna ingin sekali menyahuti semua ucapanmu, namun ia urungkan. Ia hanya mampu menimpali dalam hati.

”Dia yang nggak pantes buat lu...” sahutnya dalam hati.

Tidak lama, tangismu makin menjadi kala mengingat instastory milik Suguru yang membuat hatimu kian perih.

Bagaimana tidak? Tempat yang sangat ingin kamu kunjungi dengannya, malah ia datangi bersama wanita lain. Dan dengan bangganya wanita itu berfoto dengan bunga-bunga cantik yang ingin kamu sambangi.

Ketika tangismu makin pecah, Sukuna pun menepikan motornya di dekat taman kecil yang terletak di pinggir jalan. Lalu ia matikan mesin motornya tanpa mengeluarkan sepatah kata. Ia hanya diam, menunggumu selesai mengeluarkan beban yang ada melalui tangis yang entah sampai kapan akan berhenti.

”Jangan tangisi bajingan itu sampe kaya gini. Dia nggak pantes buat lu tangisi!” batin Sukuna.

Sungguh, ia tidak ingin mendengar maupun melihat tangisanmu. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menemani dan mendengarkanmu seperti saat ini.


Isakmu berhenti kala langit senja kian kelabu, membuatmu merasa tidak enak hati pada Sukuna yang sedari tadi diam seribu bahasa.

“Una, kok kita berhenti disini?” tanyamu dengan suara serak akibat terlalu lama menangis.

“Iya, gua bingung mau muter-muter kemana lagi,” jawabnya diiringi kekehan kecil khasnya.

“Una... makasih ya,” ujarmu.

“Buat?”

“Apa yaa? Pokoknya makasih banyak, sekarang gue udah ngerasa lebih baik,” balasmu.

Kamu tahu ia berbohong. Kamu tahu ia pasti mendengar tangisan dan ocehanmu sejak tadi, tapi ia memilih diam untuk memberimu ruang.

“Syukur dah kalo gitu. Mau makan dulu apa langsung pulang?” tanyanya.

“Pulang aja kali ya?”

“Gua laper, pengen makan dulu,” ucapnya, membuat tawa kecil keluar dari mulutmu yang sedari tadi sendu.

“Yeeee, kalo kaya gini mah kita mampir makan dulu,” balasmu.

“Oke, gassssss!” serunya.

Semua yang kamu alami memang menyesakkan dan pasti meninggalkan bekas luka meski nantinya kamu berhasil pulih dari rasa sakit itu.

Merasa sedih itu manusiawi, namun kita tidak boleh terlalu lama larut di dalamnya. Hidupmu masih panjang, dunia yang perlu kamu jelajahi masih luas, yang menyayangi dan peduli padamu masih banyak.

Hari ini kamu boleh bersedih, namun esok hari kamu harus bangkit karena masih banyak orang yang ingin melihatmu tersenyum bahagia.


“Sedih-sedihnya cukup hari ini aja ya.. Besok jangan murung lagi. Jelek, bikin kantor jadi suram.” ujar Sukuna.

“Tadi denger ya?” balasmu sembari tertawa.

“Nggak tuh. Nggak denger apa-apa,” elaknya.

“Ini lu buktinya nyautin gue ngomong,” ucapmu menyudutkan Sukuna.

“Duh, lupa belom beli bensin lagi!” seru Sukuna berusaha mengalihkan topik, membuatmu terkekeh pelan melihat kelakuannya itu.


—FIN


”Why Won’t You Love Me?” commissioned by @estimoboo