Why do you say



Beberapa menit lalu, kamu melihat Naoya dari balik jendela. Ia sudah berdiri di depan pintu rumahmu, ia tidak memanggilmu untuk keluar.

”Emang dia sekurus itu ya?” batinmu setelah melihat wajahnya yang nampak lebih tirus. Mungkin itu pengaruh karena kamu tidak melihatnya dalam dua minggu terakhir.

Untuk beberapa alasan, kamu merasa gundah untuk menemuinya. Namun kamu sudah memantapkan diri untuk berbicara padanya.

Setelah beberapa saat mengatur napas dan juga melatih ekspresi apa yang ingin kamu tampilkan padanya, kamu pun membuka pintu. Ia sedikit terperanjat karenanya.

“Kok ga manggil kalo udah sampe?” tanyamu.

“Baru mau gua panggil, tapi keduluan lu” jawabnya sembari terkekeh.

“Mau ngobrol di luar atau di dalem?”

“Di luar aja, gua gak lama kok”


Kamu dan Naoya diliputi keheningan yang begitu kentara, seolah kalian tengah sibuk dengan pikiran masing-masing. Naoya begitu diam kali ini, tidak seperti biasa saat kalian bertemu.

Tidak hanya itu, beberapa kali ia juga tersenyum kepadamu dengan matanya yang terlihat begitu sendu.

“Gua kangen, pengen meluk...” ujarnya dengan suara bariton miliknya.

“...boleh?” sambungnya.

Mendengarnya, kamu hanya tersenyum dan merentangkan kedua tanganmu.

”Gue juga pengen meluk lu, kak. Buat terakhir kalinya” batinmu.

Naoya memelukmu dengan erat, seolah ia akan kehilanganmu jika ia melepasnya.

“Udah ah, lepas” titahmu, namun Naoya tidak bergeming.

“Sebentar. Biarin gua begini dulu, sebentar” ujarnya lirih.

”Kalo lu gamau ngelepas, gue harus gimana?” batinmu.

Kamu membalas pelukannya, tanpa sadar air matamu menetes dan membasahi hoodie yang Naoya kenakan.

Naoya mulai bersuara, membuat tangismu semakin pecah.

“..jangan tinggalin gua” cicitnya.

“Jangan tinggalin gua.. sampe gua nyelesaiin semuanya” sambungnya.

“...gue ga bisa, kak” jawabmu dengan susah payah.

Tenggorokanmu terasa begitu berat dan menyakitkan untuk berbicara.

“Gue ga bisa janji kaya gitu ke orang yang udah punya tunangan” sambungmu.

Naoya melepas pelukannya dan mulai memandangmu dengan tatapan tidak percaya.

“Gue udah tau semuanya, kak.” ujarmu dengan senyum yang di paksakan. Tampak begitu menyedihkan dengan air mata yang tidak berhenti mengalir.

“Engga! Masih banyak hal yang belom lu tau!” seru Naoya yang tanpa sadar mencengkram bahumu dengan kuat.

“Apa lagi yang gue ga tau? Fakta kalo lu cucu ketiga dari keluarga Zenin yang bakal ngambil alih perusahaan? Lu yang abis tunangan? Atau tentang gue yang cuma jadi mainan lu doang?” kamu tertawa getir setelahnya.

Ia menatapmu dengan nanar.

“Masih banyak hal yang perlu lu tau. Masih ada beberapa hal yang harus dilurusin. Dengerin gua dulu” ia masih kukuh bahwa masih ada banyak hal tidak kamu tau.

“Gua gak pernah jadiin lu mainan. Lu satu-satunya orang yang paling gua sayang, gua gamau kehilangan lu. Tolong, percaya sama gua buat kali ini. Tunggu gua sebentar lagi..” Naoya meletakkan kepalanya dibahumu.

Naoya berhenti bicara. Sesaat setelahnya kamu merasakan bahumu yang mulai basah.

“...jangan tinggalin gua” ujarnya lirih.

Kamu tidak sanggup membantah ucapannya karena tangismu yang sulit dikendalikan.

“Gua berani ambil risiko apapun.. demi lu. Demi kita berdua. Kalo lu gak ada... gua gak bisa..”

“Lu ga perlu ngambil risiko apapun buat gue, kak” balasmu.

“Jangan kaya gini.. gue ga mau jadi cewe jahat yang ngerebut pasangan orang.. Semoga lu bahagia, kak..” sambungmu.

Kamu mulai mengangkat wajah Naoya. Matanya tampak lembab dan hidungnya memerah.

“...gua gak akan bisa bahagia tanpa lu” ujarnya lirih.

Kamu berusaha tersenyum didepannya sebelum mulai bicara.

“Kita sampe disini aja ya, kak..” ujarmu.

“Engga!” bantah Naoya.

“Gue mau masuk dulu. Udah malem” pamitmu.

“Dengerin gua dulu!” Naoya menahanmu agar tidak pergi.

“Gua minta maaf karena selama ini gak terbuka sama lu. Tapi gua punya alesan.. Please, jangan tinggalin gua”

“Cukup, kak! Status kita, situasi kita, semuanya udah beda. Lu mau ngejelasin apa lagi? Udah percuma” balasmu.

Kamu pun melepas cengkramannya dan mulai berjalan masuk ke dalam rumahmu.

Kamu berhenti sesaat dan menoleh kearahnya yang masih terduduk.

“Makasih... karna sempet bikin gue ngerasa jadi orang paling beruntung dan dicintai” ucapmu sebelum masuk ke dalam rumah sembari menampilkan senyum terbaikmu, meski terlihat palsu.


”No Silhoutte”