Ushijima Wakatoshi
Pandanganmu mengabur dan bulir-bulir air menetes dari matamu ketika menemui Ushijima yang berdiri di depan rumahmu sembari menenteng tas jinjing yang jelas sekali baru ia dapatkan dari salah satu gerai minimarket.
Ushijima yang melihatmu segera menghampiri. Tangannya terulur hendak menyeka pipimu namun ia urung. Alisnya berkerut dan wajahnya menegang.
“Ayo ke rumah sakit sekarang,” ia berujar.
Kamu hanya mampu menggeleng.
“Tapi kamu nangis. Kamu kesakitan.”
Kamu akhirnya mau tidak mau tersenyum mendengar ucapannya. Ia berkata demikian dengan wajah yang serius, yang artinya dia memang sungguh-sungguh berpikir kamu menangis karena menahan rasa sakit yang ia pikir sebabnya adalah lari-lari berdua bersamanya beberapa hari terakhir ini.
Ah iya juga, ini Ushijima.
Benakmu akhirnya mengingat, memperingati logikamu yang ternoda akan omong kosong lelaki di masa lalu. Ushijima Wakatoshi bukanlah seorang lelaki yang memberikan pesan-pesan rumit yang akan membingungkanmu seperti kebanyakan lelaki yang senang bermain-main karena menganggap membuatmu tersesat dan kebingungan dalam angan-angan adalah hal yang menyenangkan.
Sebaliknya, Ushijima adalah lelaki simple yang akan menunjukkan sikapnya dengan jujur agar tidak menyesatkan dan mudah dibaca. Benar-benar lelaki yang simple.
“Aku cuma seneng liat Ushijima,” jawabmu.
Kamu dapat melihat kedua alis tebalnya yang semula berkerut, kini terangkat. Seolah jawabanmu sangat jauh dari prediksinya. Sedangkan kedua telinganya terlihat memerah.
Kalau diingat, kamu belum pernah berkata sejujur ini secara langsung dengannya. Biasanya dia lah yang akan memukulmu telak dengan pujian-pujian sederhananya setiap kali berjumpa denganmu.
“Aku gak kenapa-kenapa, Ushi.” Kamu kembali berujar.
“Kamu sakit,” sahutnya.
“Aku gak pernah bilang kalo aku sakit,” cicitmu.
Ushijima lelaki yang kaku, mungkin ekspresinya terlihat datar. Namun sorot mata lelaki itu berlaku sebaliknya. Begitu jujur dan apa adanya. Menunjukkan rasa bingung dan menuntutmu untuk menjelaskan.
“Aku cuma ngerasa gak siap ketemu setelah nanya-nanya frontal kayak kemarin.” Masih teringat olehmu ketika kamu menanyakan status kalian berdua seperti apa.
Awalnya merasa pupus karena berpikir mungkin itu caranya menolak. Namun kini secercah harapan baru seolah muncul, karena yang kamu hadapi adalah seorang Ushijima. Lelaki yang begitu simple dan polos.
“Pertanyaan yang mana?” tanyanya.
“Status kita.”
“Udah aku jawab kan?”
“Iya, tapi yang ku maksud itu kamu mandang aku sebagai apa.”
Keheningan begitu kentara selama beberapa saat. Semburat aliran hangat merambat ke wajahmu begitu menyadari kalimat apa yang baru saja terlontar dari mulutmu. Rasa malu menjalar sampai-sampai kamu tidak merasakan semilir angin yang membelai lembut pipimu yang sudah kering dari air mata.
“Harusnya kamu udah tau.”
Deg.
Perkataannya membuatmu lantas berpikir bahwa dia benar. Harusnya kamu memang sudah tahu. Tidak mungkin dia menginginkan hubungan yang lebih dari sekadar pertemanan. Dia pastilah sudah terlampau sibuk, tidak ingin merepotkan diri untuk menjaga dan menyenangkan hati seorang wanita.
Kamu pun berpikir bahwa kamu jelas bukanlah tipe wanita yang ia inginkan. Kamu tidak menyukai olahraga. Walau akhir-akhir ini kamu mulai menyukainya karena merasa hal itu agak terasa menyenangkan karena dapat menghabiskan waktu bersama dengan Ushijima.
Alih-alih membalas ucapannya. Kamu hanya mampu tersenyum getir. Rasanya kelu untuk sekadar mengiyakan dan berkata bahwa benar kalian hanyalah teman biasa.
“Kamu mau nangis lagi?” tanyanya tiba-tiba.
Kamu menggeleng cepat.
“Gak,” elakmu.
Tapi, mungkin iya. Karena pandanganmu mulai buram. Mungkin ia melihat matamu kembali berkaca-kaca.
Kini tangannya kembali terulur. Namun, kali ini jemarinya benar-benar menyentuh kulitmu. Ia menyeka pipi dan matamu yang memejam dengan jarinya yang terasa hangat.
“Masa partner Ushijima cengeng?”
Demi Tuhan, kamu melihat bibirnya melengkung tipis. Ia tersenyum. Ia benar-benar tersenyum.
“Partner?”
“Iya. Kamu partner ku,“ tegasnya.
Jika ia menganggapmu sebagai partner, jelas ia tidak mungkin memaksudkannya dalam hal yang romantis. Atau begitulah yang kamu pikirkan.
“Kenapa partner dan bukan temen?” tanyamu.
“Karena beda,” jawabnya.
Ia kembali melanjutkan, “Partner bisa jadi teman, sahabat, dan posisi lainnya. Tapi seorang teman gak bisa kayak gitu.”
Sungguh, jawabannya benar-benar tidak membantu menghilangkan rasa penasaranmu. Kamu tetap bergeming sehingga ia kembali berbicara.
“Yang aku tau, partner itu saling membutuhkan, melengkapi, dan menemani. Itu kayak kita.”
Kamu tetap bergeming mencerna ucapannya.
“Aku pengen lihat kamu ketawa dan senyum malu-malu kayak biasanya. Lihat kamu nangis kayak tadi bikin aku sedih juga. Kalau aku ada salah, kasih tau aku. Ajari aku biar bisa memahami kamu. Sebagai partner, kamu bebas nunjukin diri kamu apa adanya ke aku. Kamu boleh kasih tau aku apa yang kamu suka dan enggak, biar aku hati-hati. Kamu boleh minta perhatianku kalau-kalau aku terlalu sibuk. Kamu boleh nemuin dan nemenin aku selama itu bisa. Kamu boleh pegang tanganku kalau kamu takut. Kamu juga boleh marah kalau aku kelewatan batas. Tapi, jangan pernah ngehindarin aku.”
Ushijima menjelaskan secara gamblang seperti apa partner yang ia maksudkan.
Tentu saja, jantungmu bertalu-talu mendengarnya, wajahmu memanas, dan air matamu kembali meruah.
Ushijima tampak sedikit panik, namun kamu segera memegang tangannya yang masih menyeka air matamu.
“Gimana dong? Aku makin suka sama Ushijima,” ujarmu sembari menangis.
“Kalau kamu butuh pelukan, minta itu ke Ushijima juga boleh,” ucapnya.
“Gak mau, nanti aku jadi pengen dipeluk Ushijima setiap hari.”
Ushijima tertawa kecil mendengar jawabanmu, lalu ia memelukmu dan mengusap lembut kepalamu.
“Kayaknya aku bakal seneng,” jawabnya.
Kamu gugup bukan main, jantungmu berdebar-debar hebat. Namun sepertinya bukan hanya kamu yang merasa demikian. Debaran jantung Ushijima juga sama kerasnya ketika memelukmu.
Kalau boleh jujur, rasanya saat ini kamu mampu menarikan kuda lumping atau koprol sepanjang jalan atau roll ke depan dan belakang. Tapi kamu lebih memilih menikmati kenyamanan yang Ushijima berikan melalui pelukannya yang terasa hangat. Nyaman sekali sampai-sampai kamu berpikir bahwa kamu bisa saja tertidur dalam dekapannya.
gumigumiyuu