Something


Siang hari saat istirahat makan siang, kamu mendapat chat dari Mahito untuk datang ke ruang redaksi.

Anehnya, diwaktu yang bersamaan teman-temanmu yang lain melarangmu untuk menemuinya.

Bahkan Geto pun sampai menelponmu untuk menemaninya makan siang agar tidak bertemu Mahito.

Semakin dilarang, kamu semakin penasaran hingga tanpa sadar kakimu sudah mengantarmu sampai di depan pintu ruang redaksi yang suasananya nampak mencekam.

“Bang, lu ga kasian apa? Dia baru sembuh, masa mau lu kasih kabar kaya gini?” ujar seseorang yang kamu kenal.

“Mai, ini demi kebaikan sahabat lu. Lu mau kalo dia makin sakit karna taunya nanti-nanti?” bantah Mahito.

“Lu tau sesuatu, tapi ga lu kasih tau ke dia. Ga kasian lu sama dia?” sambung Mahito yang terdengar sangat serius.

Baru kali ini kamu mendengarnya berbicara serius, entah apa yang mereka bicarakan. Bahkan Mai yang biasanya selalu menang saat berdebat dengannya, kali ini bungkam, tidak membantah.

“To, gua tau niat lu baik. Tapi ini urusan mereka, ga seharusnya kita ikut campur” ujar Geto.

Mahito mendengus kesal sebelum angkat bicara.

“Lu juga! Gua ga paham sama lu” balasnya.

Mahito kembali bicara, “Cinta dalam diam? Itu bukan cinta! Yang ada lu malah ngebiarin dia jatuh ke orang yang salah, ke jurang yang sama!”

“Gua gamau debat sama lu,To” balas Geto berusaha tenang.

“Kenapa? Ga mau ngakuin kalo omongan gua bener?” pancing Mahito.

“Ga, omongan lu salah. Gua sayang sama dia dan gua nunjukin itu dengan cara gua sendiri.” jawab Geto.

“Selama dia bahagia, gua juga akan berusaha bahagia buat dia. Dan gua liat dia bahagia waktu sama Naoya. Gimana hubungan mereka, masalah apa yang mereka lalui, itu bukan ranah gua buat ikut campur.” sambungnya.

“Gua setuju sama bang Geto, tapi gua gamau (y/n) tetep ngejalanin hubungannya tanpa tau apa-apa” ujar Momo yang sedari tadi diam.

Berbagai pikiran buruk mulai berkecamuk dalam benakmu.

“Mereka ngomongin gue sama kak Nao?” batinmu.

Kamu pun memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan itu, membuat mereka yang ada disana terdiam menatapmu yang tiba-tiba masuk.

“Gue ga tau soal apa?” tanyamu dengan senyum kaku yang terukir di wajahmu.


Kamu duduk di kursi kosong di sebelah Mahito dan melihat layar PC-nya yang menampilkan halaman salah satu sosial media.

Di laman itu kamu melihat sebuah postingan seorang pria dan wanita yang mengenakan setelan jas dan gaun.

Ketika kamu membaca caption dari postingan itu, kamu terkejut sampai tidak dapat mengucapkan sepatah katapun.



Kamu menoleh ke arah Mahito, ia hanya mengangguk seolah mengerti apa yang ada dalam pikiranmu.

“Iya. Itu Naoya, cowo lu” ujarnya dengan gamblang.

“Ga mungkin. Uname-nya mirip aja kali?” Kamu tertawa getir, terdengar memilukan.

Mahito mulai memainkan mouse yang ada di tangannya dan mulai berganti tab pada peramban yang tengah ia buka.

See? Ini akun Naoya.” ujar Mahito sembari menunjukkan profil akun tersebut yang menampilkan foto-foto Naoya.

”Udah basah, mending nyebur sekalian aja lah” batin Mahito sebelum melontarkan banyak pertanyaan.

“Lu kenal sama Naoya dari kapan?” tanya Mahito.

“...belum lama, gue baru ketemu dia kan pas dia baru masuk ke sini doang” jawabmu.

Sedari tadi Mai yang berdiri di belakangmu terus saja memelukmu, seolah berusaha mengingatkanmu bahwa apapun yang terjadi, masih ada dia dan temanmu yang lain di sampingmu.

“Oh, berarti yang dimaksud Naoya ini bukan lu dong?” cecar Mahito sembari menunjukkan akun askfm Naoya yang tempo hari Mai temukan.



Kamu tidak menjawab. Kamu pun tidak tahu harus bereaksi seperti apa saat ini, yang kamu tahu.. hatimu terasa sangat sesak hinga membuatmu sulit bernapas.

“Lu tau hal lain ga soal dia?” Mahito terus saja bertanya, seolah pertanyaan dan informasi yang ingin ia tujukan padamu tidak ada habisnya.

“Mahito, udah!” sela Geto.

“Dia ga akan kesini lagi. Disini dia cuma nyari tau, perusahaan kaya apa yang bakal dia pegang nantinya” Mahito tidak mempedulikan Geto.

“Maksudnya?” kamu benar-benar bingung, tidak mengerti apa yang ia bicarakan.

“Dia cucu ketiga dari keluarga Zenin. Huruf Z dari nama perusahaaan tempat kerja ini tuh dari nama Zenin” jelasnya.

“Ngeliat dari reaksi lu, kayanya lu bener-bener gatau ya?” tebaknya.

Kamu tidak membalas ucapannya, karena yang ia katakan benar adanya. Tidak ada yang kamu tau tentang dia, mungkin ia hanya ingin bermain-main denganmu. Begitu pikirmu.

“Parah sih, harusnya lu sama G-“ belum sempat Mahito menyelesaikan ucapannya, sebuah pukulan dari Geto mendarat di kepalanya, membuatnya mengaduh kesakitan.

Geto pun segera membekap mulutnya Mahito agar ia tidak banyak bicara.

“Mau makan dimana? Keburu abis nih jam makan siangnya” ujar Geto.

“Mana aja lah, bang” balas Mai yang masih menepuk-nepuk kepalamu, untuk membuatmu merasa lebih tenang.

“Cari ke luar aja deh. Gua pengen makan yang pedes-pedes” ujar Geto.

Melihatmu yang tetap diam, Geto menghampirimu dan menepuk kepalamu pelan.

“Nanti lu obrolin semuanya sama Naoya, sekarang ikut kita makan dulu. Apalagi lu abis sakit kan?” ujarnya.

“Galau juga butuh tenaga” sahut Mahito.

“OKE! DITRAKTIR BANG HITO!” seru Momo.

“DIH? GUA AJA BELOM G-“ lagi-lagi Geto membungkam mulut Mahito.

“Yuk, jarang-jarang nih Mahito mau nraktir” bujuk Geto.

Tidak lama, tibalah Miwa yang dari kamar mandi.

“Ini ada apa?” tanya Miwa yang tidak tau situasi apa yang ada di hadapannya.

“Lu pipis dimana sih, Wa? Di Zimbabwe?” ujar Mai karena Miwa menghabiskan waktu cukup lama untuk sekadar buang air kecil.

“Kata gua mah dia ternak lele dulu tadi” sahut Mahito yang mulutnya sudah bebas dari Geto.

“Ih, engga. Tadi rame banget, jadi ngantri dulu” jelas Miwa.

“Yaudah yuk, makan” ajakmu pada akhirnya. Kamu tidak ingin mereka kehilangan waktu untuk menikmati makan siang hanya karena kegalauanmu.


”No Silhouette”