Pulang
Nanami Kento, suamimu, baru tiba di rumah ketika waktu hampir tengah malam. Ia buka pintu sepelan mungkin, dan berjalan ringan agar tidak mengganggumu yang kemungkinan besar sudah tertidur lelap.
Langkahnya terhenti kala netranya menangkap sosokmu yang tengah tertidur di atas sofa dengan mata sembab.
Ia lepaskan dasi yang mengekang lehernya, lalu meletakkannya di atas meja bersamaan dengan tas kerja yang semula ia tenteng.
Setelahnya, ia hampiri dirimu yang tengah tertidur. Lalu dipandanginya wajahmu hingga kakinya bersimpuh, agar tingginya sejajar denganmu.
“Maafin mas, ya..” ucapnya pelan layaknya bisikan angin yang menggelitik telinga.
Keheningan kembali menerpa, ia tidak berbicara apapun, namun jemarinya dengan lembut menghapus sisa air mata yang masih mengendap di ujung matamu. Lalu ia ciumi kelopak matamu yang tertutup, pipimu, keningmu, pucuk hidungmu, dan juga bibirmu; yang masih merekah karena perona bibir yang tadi kamu pakai belum sepenuhnya hilang.
Nanami kembali menatapmu dengan wajah kuyu. Ia tahu kamu juga sama lelahnya dengan dia yang seharian bekerja di kantor. Bagaimana tidak? Seperti ibu rumah tangga pada umumnya, kamu mengurus pekerjaan rumah seorang diri; mulai dari bebersih, mencuci, menyetrika, hingga memasak setiap harinya. Belum lagi jika kamu mendapat pesanan kue atau makanan lainnya, kamu akan berkutat berjam-jam lamanya di dapur, seolah tidak ada kata “istirahat” dalam kamusmu.
Ia kembali mencium keningmu sebelum bangkit untuk menggendongmu ke dalam kamar agar tubuhmu dapat beristirahat dengan optimal diatas ranjang empuk yang nyaman.
Dibaringkannya tubuhmu dengan perlahan agar mimpi indahmu tidak harus terhenti. Lalu ia selimuti tubuhmu sebelum kecupan singkatnya kembali mendarat di kening dan bibirmu.
Hari semakin larut, malam pun kian sunyi. Nanami segera melepas kemejanya sembari berjalan menuju kamar mandi guna membersihkan diri agar tidurnya lebih nyaman nantinya.
“Ah, iya. Handuknya belum dibawa,” cicitnya.
Time Limit