No! Go back


Rumahmu kosong saat ini, kedua orangtuamu sudah pergi sejak siang hari untuk menghadiri acara pernikahan sahabat mereka yang diadakan di kota sebelah. Dan kemungkinan akan kembali larut malam karena mereka sudah pasti akan mengadakan reuni dadakan dengan teman-teman lama mereka.

Kamu pun memutuskan untuk menunggu Megumi di teras depan rumahmu, agar dapat bergegas berangkat ketika Megumi tiba.

Kamu menunggu dengan menahan sakit kepala yang tidak kunjung reda, padahal kamu sudah meminum obat yang diresepkan oleh dokter dengan taat. Sesekali kamu menyandarkan kepalamu pada tembok sembari memejamkan mata, supaya rasa pusingmu sedikit berkurang.

Tidak lama, kamu mendengar suara motor Megumi yang sangat kamu hafal. Ketika matamu menangkap sosok Megumi, kamu pun segera menghampirinya dengan riang.

“Kok nunggunya di luar?” tanya Megumi.

“Iya, biar bisa langsung berangkat” jawabmu sembari terkekeh pelan.

“Gua mau pamitan sama Mama Papa lu dulu”

“Ga usah, Gum. Mama sama Papa lagi pada pergi, gue di rumah sendirian”

“Udah bilang kalo lu mau pergi sama gua?”

Kamu hanya mengangguk, lalu memakai helm yang pernah Megumi belikan untukmu.

“Yaudah, naik” titahnya yang langsung kamu turuti.

Sejujurnya, kamu tidak mengatakan apapun kepada kedua orangtuamu. Karena sudah pasti mereka akan melarangmu untuk pergi sampai kesehatanmu kembali pulih. Kamu tidak ingin rencana kencanmu kali ini akan gagal, karena kamu sudah sangat menantikannya.


Sesampainya di salah satu pusat perbelanjaan, kamu dan Megumi bergegas untuk membeli tiket film yang akan kalian tonton.

Masih ada waktu tiga puluh menit sampai film tersebut diputar, sehingga Megumi mengajakmu untuk mengisi perut terlebih dahulu di food court.

“Mau makan apa? Nasi?” tanyanya.

“Mau burger. Takut ga abis kalo makan nasi,” jawabmu.

“Di rumah udah makan?”

“Udah”

Memang benar, kamu sudah makan di rumah. Tapi hanya beberapa suap nasi, itu pun pada siang hari; hanya untuk memenuhi syarat agar dapat meminum obat. Setelahnya tidak ada apapun yang masuk ke dalam perutmu.

Kamu benar-benar tidak berselera makan, terlebih indera perasamu sangat tidak bersahabat saat ini. Apapun yang kamu makan tidak terasa seenak biasanya, hanya rasa pahit yang dapat kamu rasa. Tapi, sebisa mungkin kamu tidak menunjukkannya di hadapan Megumi, kamu melahap makanan yang ada di depanmu dengan lahap.

“Gum, nanti pulangnya beli es krim dulu yuk” pintamu.

Aneh memang, tiba-tiba kamu menginginkan dessert manis yang lembut itu meleleh di mulutmu, meski kamu tahu seperti apa kondisimu saat ini.

Tanpa tahu apapun, Megumi hanya mengangguk mengiyakan permintaanmu.


Kini, kamu dan Megumi tengah menyaksikan film aksi di dalam bioskop, tepatnya di theater 2. Kamu tidak menyukai film horror, film romantis pun membuatmu dan Megumi enggan menontonnya, sehingga kalian memilih untuk menonton film aksi sebagai jalan keluar.

Megumi menonton dengan serius, berbeda sekali denganmu yang sama sekali tidak fokus dengan jalan cerita dari film tersebut. Suhu theater yang dingin itu seolah menusuk-nusuk kulitmu hingga menembus tulang, membuatmu sedikit menggigil karenanya.

Berbagai upaya telah kamu coba guna membuat tubuhmu menghangat, mulai dari menyilangkan kedua lenganmu, menggosok kedua telapak tanganmu lalu menempelkannya pada kedua pipimu yang sedingin es, namun kamu tetap kedinginan.

“Kenapa?” tanya Megumi dengan tiba-tiba, mungkin dia sedikit terganggu karena kamu tidak bisa duduk dengan tenang sejak 30 menit film yang kalian tonton itu diputar.

Kamu hanya meringis sebelum menjawabnya.

“Gapapa, Gum. Lagi nyari posisi yang nyaman aja,” bohongmu, membuat Megumi kembali fokus pada tayangan yang ada di hadapannya.

Kamu mulai merindukan selimut hangat yang ada di kamarmu. Berlindung di dalamnya pasti akan sangat nyaman, pikirmu.

Kamu pun menyerah untuk membuat tubuhmu merasa lebih hangat, lalu beralih menatap Megumi yang tampak sangat indah kala bias cahaya dari layar menyinari wajah tampannya yang tampak seperti maha karya terindah dari Yang Maha Kuasa yang pernah kamu lihat.

Senyummu mengembang tanpa sadar ketika melihat wajah kekasihmu kelihatan serius, tampaknya ia sangat menghayati film yang tengah ia tonton. Bahkan dahinya sampai berkerut dan terkadang alisnya tertaut satu sama lain.

Entah sudah berapa lama kamu mendangnya hingga membuat Megumi mengalihkan atensinya padamu.

“Mau ngeliatin gua sampe kapan?” tanyanya.

“Sampe pulang” jawabmu tanpa berpikir panjang.

“Rugi dong beli tiket nonton?”

“Ga rugi kok, soalnya bisa liat Megumi selama satu setengah jam nonstop. Cowoku ganteng banget sih”

Megumi segera membungkam mulutmu agar tidak meracau lebih panjang lagi. Namun, ia malah terkejut karena merasakan suhu tubuhmu yang tinggi, tidak seperti biasanya.

“Lu demam?” tanyanya yang enggan kamu jawab.

“Dari kapan?” tanyanya lagi.

”...kemarin” cicitmu

“Kenapa gak bilang kalo lagi sakit?”

“Takut kencannya batal..”

“Kan bisa pergi lain waktu”

“Tapi pekan depan kita makin sibuk, pasti makin susah buat keluar kaya gini”

Megumi diam saja, tidak membantahnya.

Tidak lama, ia kembali bersuara.

“Kita pulang sekarang.”

“Ga mau! Filmnya aja belom selesai”

“Pulang, istirahat di rumah.”

“Ga mau, masih mau sama Megumi” ujarmu pelan.

Tampaknya Megumi menyerah untuk mengajakmu pulang lebih awal. Ia juga tidak ingin mengganggu pengunjung lain dengan perdebatan kalian, meski kalian berbicara dengan suara lirih.

Tanpa berbicara, Megumi pun langsung menggenggam kedua tanganmu yang sudah sedingin balok es. Sesekali ia usap-usap, tiupi, bahkan ia takupkan juga kedua tanganmu pada pipinya agar tanganmu tidak lagi kedinginan.

“Pusing?” tanyanya, yang dijawab dengan anggukan olehmu.

“Tidur aja”

“Tidurnya gimana kalo tangan gue dua-duanya lu pegangin gitu?”

“Sepatunya lepas, kakinya lu naikin ke bangku. Abis itu lu nyender disini” ia menepuk bahunya sendiri.

“Boleh?” tanyamu yang sudah melepas sepatu dan bersiap menyandar di bahunya.

“Iya” jawabnya.

“Ini serius gapapa?”

“Lu udah nyender, ga perlu nanya-nanya lagi”


Seusai menonton film, Megumi bergegas mengajakmu pulang. Dan setibanya di parkiran, perdebatan kembali terjadi setelah Megumi mendapat telepon dari ibumu yang menanyakan keberadaanmu padanya.

“Megumi” panggilmu pada lelaki bertubuh jangkung yang berjalan beberapa langkah di depanmu.

“Maaf..” cicitmu.

“Minta maaf sama Mama Papa lu yang udah lu bikin khawatir,” jawabnya ketus.

“Iya, nanti minta maaf di rumah”

Lagi-lagi Megumi diam, tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

“Gum, lu marah?” tanyamu, meski kamu tahu jawabannya.

“Gua gak suka lu bohong bohong kayak gini. Apalagi lu sampe gak izin sama orangtua lu sendiri”

”...takut ga dikasih izin buat keluar” jawabmu takut-takut.

“Jadi orang jangan egois. Badan lu butuh istirahat. Kalo nanti lu makin parah sakitnya, siapa yang repot? Orangtua lu.” ujarnya.

Kamu tidak bergeming mendengar ucapannya, hingga ia kembali berujar.

“Pengen ya, liat gua dimarahin sama Mama lu kaya tadi?”

“Engga, Gum. Sumpah, gue ga pernah mikir gitu..” kamu semakin merasa bersalah padanya. Karena keegoisanmu, Megumi sempat dimarahi oleh ibumu; dikira ia lah yang mengajakmu keluar tanpa memedulikan kondisimu.

Sepertinya semua tidak berjalan sesuai prediksimu. Kedua orangtuamu tiba lebih awal karena tidak ingin meninggalkanmu sendirian di rumah dalam kondisi sakit, sehingga mereka langsung menghubungi Megumi untuk memastikan keberadaanmu ketika tidak melihatmu di dalam rumah. Pasalnya ponselmu memang kamu atur dalam silent mode, sehingga tidak tahu jika ponselmu menerima banyak panggilan masuk dari kedua orangtuamu.

Megumi sudah menaiki motor hitamnya, lalu memakai helm. Sedangkan kamu masih tidak bergeming, memunggungi Megumi agar ia tidak melihatmu menangis.

“Pake helmnya” titahnya.

Kamu pun memakai helm yang sedari tadi kamu pegang, namun kamu tetap tidak beranjak dari tempat semula.

“Naik!” serunya ketika melihatmu masih berdiri di tempat yang sama.

”... ga mau, Megumi masih marah. Takut..” cicitmu di sela-sela tangismu.

“Mau pulang sekarang, apa gua tinggal?” ujarnya.

Sungguh, kamu sangat menyesal membuatnya marah. Ia menjadi sangat dingin, seolah berubah seperti sosok yang berbeda.

Tidak ingin membuatnya semakin marah, kamu pun menaiki motornya. Tanganmu yang gemetar hanya berani memegangi ujung overshirt hitam yang ia kenakan sebagai outer.

Entah Megumi mendengarnya atau tidak, kamu masih tetap menangis selama perjalanan pulang. Megumi juga tidak mengeluarkan sepatah kata pun saat itu.


“Gum... maaf, jangan marah lagi..” cicitmu setelah tangismu mereda.

Megumi tidak menggubris ucapanmu, dia memilih untuk fokus berkendara.

Selama perjalanan, kamu tidak melihat dengan jelas jalanan yang kalian lalui; karena matamu dipenuhi dengan cairan bening yang terus meleleh hingga membasahi pipimu.

Kamu melihat sekelilingmu, sangat sepi; kamu tidak melihat seorang pun berlalu lalang. Belum lagi di kanan kiri jalanan yang kalian lewati banyak sekali pepohonan besar yang tampak menyeramkan. Pencahayaan pun sangat minim di sepanjang jalan itu.

“Gum..” panggilmu.

Kamu sangat ketakutan kala itu, terlebih sikap lelaki di hadapanmu itu sangat dingin layaknya orang asing yang tidak kamu kenali.

“Gum, kok lewat sini? Kenapa ga lewat jalan raya aja kaya pas berangkat tadi?” tanyamu yang lagi-lagi diabaikan olehnya.

Megumi masih terus melajukan motornya, melewati jalan perkampungan yang makin sepi dan gelap. Kamu kebingunan setengah mati, pasalnya kamu belum pernah melewati jalanan itu.

Skenario buruk mulai merayapi pikiranmu ketika kamu melihat banyaknya gundukan tanah dengan batu nisan diatasnya di kedua sisi jalan, dan Megumi menghentikan laju motornya disana.

“Gum, gue tau kalo lu lagi marah. Tapi jangan begini..” cicitmu.

“Jangan tinggalin gue disini. Gue takut...” ujarmu lagi yang kembali terisak.

Megumi menghela napasnya lirih sebelum menoleh kearahmu.

“Kita nyasar. Tadi salah belok,” ujarnya sembari menunjukan layar ponselnya yang tengah membuka google maps.

“Udah, jangan nangis. Nanti pilek” sambungnya.

Kamu menghentikan tangismu dan mengelap sisa air matamu dengan tanganmu.

“Ng– ngga nangis..” jawabmu sedikit tergagap.

Sebelum melanjutkan perjalanan, ia melepas overshirt hitam yang ia kenakan dan memberinya padamu.

“Pake, biar gak kedinginan” titahnya.

“Ga usah, Gum. Nanti lu yang jadi kedinginan. Lu aja cuma pake kaos pendek begitu” tolakmu.

“Jangan ngebantah, pake aja”

Mau tidak mau, kamu menurutinya. Lalu Megumi kembali melajukan motornya hingga kalian menemui jalan raya yang akan menuju rumahmu.

Rupanya jalan perkampungan yang sepi tadi adalah jalan pintas yang Megumi pilih karena ingin menghindari kemacetan parah yang ada.

“Gum, mau es krim..” ujarmu ketika kalian terjebak lampu merah.

“Gak!”


Setibanya di rumahmu, ibumu meminta Megumi untuk singgah sebentar dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.

Ayahmu yang tengah duduk diatas sofa sembari menonton tayangan televisi lantas memanggil Megumi untuk duduk disebelahnya.

“Sini, Gum. Duduk,” ujar ayahmu.

Kamu pun turut duduk menemani Megumi. Sebenarnya kamu takut ayahmu akan memarahinya, sehingga kamu enggan untuk meninggalkannya berdua dengan ayahmu. Sedangkan ibumu pergi menuju dapur.

“Maaf, Pa. Megumi udah bawa (y/n) keluar sampai malam begini, Megumi gak tau kalau dia sakit,” tutur Megumi, membuka obrolan terlebih dahulu.

Tidak lama, ibumu muncul dengan membawa minuman dan potongan buah segar dan meletakkan di hadapan kalian.

“Kamu kenapa matanya bengep gitu? Abis nangis?” tanya ibumu setelah melihat wajahmu yang terlihat sendu.

Kamu membisu, sehingga Megumi yang menjawabnya.

“Tadi dia nangis sepanjang jalan pulang, Ma”

“Kenapa? Kamu marahin, Gum?” tanya ibumu lagi.

“Maaf, Ma, Pa. Megumi kecewa dibohongin kayak tadi. Dia gak bilang kalo lagi sakit, dia juga bilang kalo udah izin sama Mama dan Papa, padahal belum. Apalagi pulangnya dia masih ngotot minta es krim, padahal tubuhnya masih demam” jawab Megumi.

“Kamu beliin nggak?” kini ayahmu turut mengajukan pertanyaan.

“Enggak, Pa.”

“Bagus. Jangan diturutin, Gum” ujar ayahmu.

“Maaf ya, tadi Mama sempet marahin Gumi. Tadi Mama panik, pas sampe rumah.. si (y/n) gak ada. Mana tumben banget gak izin,” ucap ibumu.

“Gak apa-apa kok, Ma” jawab Megumi.

“Gimana tadi rasanya dimarahin Megumi?” tanya ayahmu padamu yang sedari tadi membisu.

“Serem banget. Tadi aku sampe gemeteran di parkiran. Udah gitu sepanjang jalan tuh aku didiemin Megumi,” adumu.

“Terus tau-tau dia berhenti di kuburan. Beneran, aku takut banget. Kirain bakal diturunin disitu” sambungmu.

“Tadi Megumi mau lewat jalan pintas biar cepet sampai rumah, tapi malah nyasar gara-gara salah belok.” imbuh Megumi, meluruskan kesalahpahaman.

“Gapapa, Gum. Marahin aja kalo dia bandel kaya gini” ujar ibumu.

“Kok malah disuruh marahin sih?” tanyamu yang tidak terima.

“Biar kapok” sahut ibumu.

Jangan heran, Megumi memang sudah cukup dekat dengan kedua orangtuamu; dapat dilihat dari cara Megumi memanggil mereka dengan sebutan “Mama” dan “Papa”. Dan tampaknya mereka sudah menganggap Megumi layaknya anak sendiri.

Pembicaraan pun terus berlanjut sampai waktu menunjukkan pukul sembilan malam. Megumi pun berpamitan agar kamu dapat segera beristirahat.

Kamu mengantarnya ke depan, tidak lupa kamu juga mengembalikan overshirt miliknya yang tadi sempat kamu pakai.

“Makasih ya, Gum.. Maaf juga udah bohongin lu. Gue janji ga akan begini lagi!” ujarmu.

“Iya, gak apa-apa”

“Gum..”

“Apa?”

“Masih kangen..”

Megumi tidak membalas ucapanmu, namun perlahan ia merentangkan kedua tangannya.

Melihatmu yang masih terdiam dengan ekspresi kebingungan, ia pun berbicara.

“Gak mau dipeluk?” tanyanya.

Tanpa membuang banyak waktu, kamu pun langsung memeluk tubuhnya erat-erat.

“Ga mauuu!” ujarmu.

“Gak mau tapi meluknya kenceng gini ya?” ia terkekeh pelan sembari mengacak rambutmu.

Tidak lama, ia mulai berbisik, “Maafin gua ya, tadi udah marah-marah sampe bikin lu nangis”

“Gapapa, emang gue yang salah kok, Gum. Tapi seengganya gue jadi tau, lu kalo marah seserem apa..”

“Emang serem?”

“Banget! Gue ga mau bikin lu marah lagi, kapok!”

“Perasaan gua diem aja pas marah?”

“Justru itu yang bikin serem. Soalnya gue juga ga tau apa yang ada di pikiran lu”

“Maaf. Makanya jangan bohong2 lagi”

“Iya, ga akan..”

“Yaudah, abis ini langsung istirahat ya”

“Megumi juga! Pulangnya hati-hati”

“Iyaaa” jawabnya.

Karena kamu tidak bergeming, ia kembali bicara.

“Kalo pelukannya gak lu lepas, gua pulangnya gimana?”

“Oiya! Maaf, lupa..” kamu terkekeh pelan, berusaha menutupi rasa malumu.

Kencanmu hari itu memang tidak berjalan sesuai dengan rencana. Namun, setidaknya kamu dapat mengenal sisi lain dari Megumi yang sangat tidak menyukai kebohongan, apapun itu alasannya.


“Like Me”