I'm Only Nice To You


Jantungmu berdebar-debar tidak karuan setelah mengirimi Megumi pesan bahwa kegiatan tugas kelompokmu kali ini sudah berakhir dan Megumi memintamu untuk menunggunya.

Tentu saja, temanmu yang lain belum ada yang pulang. Mereka masih menungguimu sampai Megumi benar-benar datang menjemput.

Bahkan, Miwa yang biasanya pulang lebih awal pun sampai rela ikut menunggumu

“Kok kalian ga pada pulang sih?” tanyamu.

“Suka-suka kita lah mau pulang kapan” sahut Muta, sedikit nyolot.

“Mo, kalo gua refill katsu boleh?” tanya Todo kepada Kamo yang tengah meminum lemon tea hangat sembari memainkan ponselnya.

“Bused, katsu kok di-refill? Air putih noh, baru pantes..” sahut Muta.

“Jangan malu-maluin ngapa, Do.” balas Mai dengan sewot, membuat Todo memutar bola matanya lalu kembali bersandar pada kursinya.

Belasan menit pun berlalu, hingga suara notifikasi pada ponselmu membuatmu terperanjat. Kamu segera membuka pesan yang dikirim oleh Megumi bahwa ia telah menunggumu di depan area cafè.

“Eh, gue balik duluan ya. Makasih semuanya! Kamo, makasih juga traktirannya!” pamitmu.

“Iya, hati-hati pulangnya” jawab Kamo.

“Udah di jemput?” tanya Mai.

Kamu hanya mengangguk dengan mata berbinar-binar.

“Wuih! Beda ya kalo dijemput ayang, matanya langsung idup noh! Padahal tadi ngantuk berat!” sahut Todo.

“Apasih.. Biasa aja tuh!” elakmu.

Kamu pun bergegas untuk menemui Megumi, tidak ingin membuatnya lama menunggumu. Teman-temanmu juga segera berpindah tempat, lebih tepatnya ke arah jendela untuk melihat orang yang datang menjemputmu malam itu.

“Gahar bener Megumi,” ucap Muta yang melihat dari kaca.

“Dijemput pake motor gede, njir” sahut Momo.

“Miwa naik motor kaya gitu takut kejengkang!” Miwa ikut bersuara.

“Nah, Miwa naik motor Muta aja. Aman kok, kalo mau lebih aman lagi... bisa pegangan,” ujar Muta.

“Jangan mau, Wa. Ntar diturunin di jalan sama Muta!” ucap Mai.

“Kaga bakal, jing!” ucap Muta, tidak terima dengan perkataan Mai.


Kamu berhenti beberapa langkah sebelum menghampiri Megumi yang duduk diatas motornya, guna mengatur deru napas dan juga detak jantungmu. Setelah dirasa lebih baik, kamu pun menghampirinya.

“Maaf ya, bikin lu nunggu lama,” ujarmu sedikit kaku.

Jujur saja, saat itu kamu dipenuhi dengan rasa tegang yang luar biasa. Bahkan, suaramu saat itu terdengar sedikit bergetar karenanya.

Terlebih ketika kamu melihat sosok Megumi datang menjemputmu dengan penampilan yang sangat keren di matamu.

Saat itu, ia memakai celana jeans hitam panjang, kaos putih dengan balutan outer jaket denim berwarna senada dengan celananya; yang lengannya sedikit di gulung, hingga memperlihatkan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

Belum lagi, parfum yang ia gunakan makin membuatmu mabuk kepayang hingga kamu kesulitan untuk menahan senyum sumringahmu.

“Engga lama,” balasnya, lalu memasukkan ponselnya ke dalam waist bag yang ia selempangkan pada bahunya.

“Lu rapih begini mau kemana?” tanyamu basa-basi.

Kamu dapat melihat sebelah alisnya terangkat ketika mendengar pertanyaanmu.

“Nemuin cewek,” balasnya.

“Siapa tuh?”

“Cewek gak jelas yang katanya deg-degan dapet voice note dari gua,” jawabnya, membuatmu memalingkan wajah.

“Ah, males banget diledekin Megumi..” cicitmu.

Ia terkekeh pelan, lalu memberimu helm yang sedari tadi ia sangkutkan pada lengannya.

“Makasih, Gum,” ucapmu ketika menerima helm tersebut, lalu memakainya.

“Lu cocok pake helm itu. Keliatan manis,” ujarnya, sukses membuatmu makin salah tingkah.

“DEMI SEMPAK DUGONG!! DIA BILANG APA BARUSAN???? GUE? MANIS???” batinmu.

“Lu kesurupan apaan sih, Gum?” balasmu tanpa pikir panjang.

“Gak tau. Cepet, naik!” jawabnya.

Kamu baru menginjakkan satu kaki pada pijakan motornya, tapi kamu sudah merasa kesulitan jika tidak berpegangan padanya.

“Gum, kalo gue pegang pundak lu boleh?” tanyamu.

“Gue susah naiknya..” imbuhmu.

“Boleh,” jawabnya.

Kamu pun memegang bahunya untuk memudahkanmu menaiki motornya yang tinggi itu. Setelahnya, kamu melepas peganganmu pada bahunya, karena tidak ingin membuatnya merasa tidak nyaman.

“Udah naik?” tanyanya.

“Udah”

Ia mulai menghidupkan mesin motornya, lalu memintamu untuk berpegangan pada jaket atau tasnya.

“Pegangan sama jaket atau tas gua, takutnya lu terbang kebawa angin.” titahnya.

“Masa sampe terbang?”

“Gua ngebut kalo bawa motor,” jawabnya, membuatmu menuruti ucapannya.


Selama perjalanan, kamu dan Megumi tidak banyak bicara. Dia tidak sepenuhnya diam, bahkan sesekali ia berinisiatif menanyaimu dengan beberapa pertanyaan seperti saat ini.

“Lu udah kenyang?” tanyanya.

“Hah?”

Sungguh, saat itu suara angin lebih terdengar di telingamu daripada suaranya.

“Lu udah kenyang?”

“KAYANG?”

“KENYANG! LU UDAH KENYANG? GUA MAU NGAJAK MAKAN” kali ini suara Megumi terdengar lebih jelas.

“LU BELOM MAKAN, GUM?” tanyamu.

“Belum”

“YUK MAKAN!”

“Lu mau makan apa?” tanyanya.

“GAPAPA, GUM”

“Kok gak apa-apa? LU MAU MAKAN APA?”

“OH, MAKAN APA? APA AJA DOYAN KOK!” jawabmu, bahkan memakan janji manis dari Megumi pun akan kamu lakukan dengan senang hati.

“Makan di pinggir jalan gak apa-apa?” tanyanya lagi.

“PINGGANG? PINGGANG LU SAKIT, GUM?” balasmu.

“MAKAN DI PINGGIR JALAN GAK APA-APA KAN?” Megumi mengulangi ucapannya.

“OH, GAPAPA, GUM!”

Tidak lama, Megumi menghentikan motornya pada warung makan bertenda yang ada di pinggir jalan; yang menjual olahan daging ayam, bebek, dan ikan beserta lalapannya.

“Pernah makan di tempat kaya gini?” tanyanya setelah melepas helm yang menutupi paras tampannya.

“Pernah lahh!” jawabmu.

“Lu mau makan apa? Ayam apa bebek?”

“Ayam” jawabmu.

Lalu, Megumi memintamu untuk duduk di salah satu bangku selagi menuggunya memesankan makanan dan minuman untuk kalian berdua.


“Enak?” tanyanya selagi melihatmu makan dengan lahap.

Kamu mengangguk, mengiyakan pertanyaannya barusan.

“Lu doyan lalapannya?” lagi-lagi ia bertanya.

“Doyan lah!” jawabmu sembari memakan daun kemangi dan selada.

Megumi terkekeh pelan, “Kayak kambing kalo makannya kayak gitu”

“Sembarangan!” serumu, tidak terima.

Selepas makan malam yang singkat itu, kamu dan Megumi bergegas pulang karena malam yang semakin larut.

Lagi-lagi keheningan menyelimuti kalian, tidak ada yang membuka obrolan lebih dulu. Hingga kamu teringat akan sesuatu.

“Gum! Gum! Kacamata gue kok ga ada?” tanyamu panik.

“Hah?”

“Gum! Kayanya ketinggalan deh? Gimana dong??”

Megumi pun menepikan motornya, lalu menoleh untuk melihat wajah panikmu.

Namun, ia malah tertawa sampai memalingkan wajahnya.

“Kacamata lagi lu pake, masih aja dicariin” ujarnya.

Kamu pun segera mengeceknya, dan benar saja... jarimu mendapati bingkai kacamata yang melekat pada tulang hidungmu.

“Loh? Iya! Pantesan, mata gue keliatan lebih jelas” ucapmu.

“Untung gua belum puter balik,”

“Maaf, Gum.. Gue panik!”


Megumi menurunkanmu tepat di depan rumahmu. Ia juga memintamu untuk menyimpan helm yang tadi kamu kenakan.

“Simpen aja,” titahnya.

“Gua beli itu buat lu pake,” sambungnya.

“Ga usah, Gum. Masa buat gue?” ucapmu.

“Iya, jadi besok-besok gua gak perlu bawa-bawa helm lagi buat lu.”

“Besok-besok? Emang lu mau ngajak gue motoran lagi?” tanyamu takut-takut.

“Iya.” jawabnya cepat, membuatmu memikirkan berbagai skenario kencan romantis di dalam pikiranmu.

“Yaudah, sana masuk. Terus tidur,” ujarnya membuyarkan lamunanmu.

“Iyaa. Makasih ya, Gum. Udah repot-repot jemput gue gini,”

“Gak repot sama sekali. Cepetan, masuk..” jawabnya.

“Gum, pulangnya hati-hati yaa, dadah..” tanpa sadar kamu melambaikan tangan layaknya anak kecil yang akan ditinggal pergi kerja oleh ayahnya.

Megumi membalas lambaian tanganmu, lalu melajukan motornya; meninggalkanmu yang masih menatap punggungnya yang makin menjauh.


“Like Me”