I'm (not) Okay



Semilir angin malam yang berhembus membelai lembut kulitmu, membuatmu sedikit bergidik karena sensasi dingin yang rasanya dapat membekukanmu saat itu juga. Wajar saja, sore tadi di wilayahmu sempat turun hujan selama beberapa jam lamanya, sehingga angin pada malam itu terasa lebih dingin daripada biasanya.

Kamu pegangi ponselmu dengan kedua tanganmu yang sedingin es, berharap mendapatkan kabar dari kekasihmu yang sudah kamu tunggu kedatangannya selama dua jam ini. Pasalnya, sejak tadi ia tidak membalas pesan maupun menerima panggilan darimu. Kamu akan menerima apapun alasan keterlambatannya itu daripada harus menunggu dengan pikiran-pikiran buruk yang mulai menghantui pikiranmu; seperti, “bagaimana jika ia mengalami kecelakaan ketika akan menemuimu?” atau yang semacamnya.

Sungguh, menunggu seperti ini bukanlah hal yang kamu sukai. Jika bukan karena Suguru Geto, kamu pasti akan pulang sejak tadi daripada harus menunggu seorang diri di salah satu bangku halte tidak jauh dari kantormu.

Sesekali kamu menoleh kanan dan kiri, memerhatikan setiap kendaraan yang berlalu lalang sembari berharap bahwa salah satu pengendaranya adalah kekasihmu, Suguru Geto. Namun nihil, mereka semua adalah orang asing yang wajahnya sama sekali tidak familiar bagimu.

Hingga akhirnya ponselmu berdering, menandakan adanya panggilan telepon yang masuk. Tidak perlu menunggu lama untukmu mengangkatnya kala mengetahui panggilan itu berasal dari kekasihmu.

“Halo? Kak Geto lagi di mana sekarang?” tanyamu lebih dulu.

”Ya? Halo?” balasnya yang seperti tidak mendengar ucapanmu dengan jelas.

Kamu dapat mendengar suara-suara tawa yang ramai sekali dari seberang sana, membuat rasa penasaranmu makin besar.

“Kak Geto lagi di mana sekarang? Kok rame?” ulangmu.

”Aku lagi ada acara sama temen-temen kantor. Kamu udah pulang kan?” jawabnya.

“Hah? Ya belum lah. Aku masih nungguin kak Geto..” balasmu.

”Kirain kamu udah pulang,”

Kamu tidak menjawab ucapannya tersebut, hanya berharap dalam hati bahwa ia akan memintamu untuk menunggunya sedikit lebih lama karena ia akan segera datang menemuimu.

Namun, terkadang realita memang kejam; ia akan memutuskan benang-benang harapan yang telah manusia rajut dengan sedemikian rupa.

“Maaf, hari ini aku gak bisa nemuin kamu. Kamu gak apa-apa kan kalo pulang sendiri?” ujar Suguru Geto dari seberang sana.

“Tapi kak Geto udah janji..”

”Terus gimana? Aku gak bisa nolak ajakan temen-temen kantor,”

”Kamu mau aku dianggep sombong sama yang lain?” sambungnya.

“Ga mau. Tapi kan kak Geto bisa bilang baik-baik kalo udah ada janji. Mereka pasti bakal ngerti kok,” balasmu.

”Gak enak sama yang lain. Kamu tolong ngertiin posisi aku juga disini,” ujarnya.

Ingin rasanya kamu membalas ucapannya itu dengan lantang bahwa seharusnya ia juga perlu mengerti posisimu yang sudah menunggunya lama sekali seorang diri, dan dengan entengnya ia membatalkan janjinya seperti ini melalui sambungan telepon. Namun itu semua kamu urungkan karena tidak ingin menimbulkan perdebatan diantara kalian berdua.

”Kamu gak marah kan?” tanyanya.

Kamu tidak menjawab. Karena kata kecewa tampaknya lebih tepat untuk menggambarkan isi hatimu saat ini.

”Nanti kita jadwalin ulang ya..” sambungnya yang hanya kamu jawab dengan anggukkan kepala; meski Suguru tidak mampu melihatnya.

”Sayang?” panggilnya.

“Iya, kak,” jawabmu.

”Yaudah ya, nanti aku telpon lagi. Kamu pulangnya hati-hati,” ujarnya sebelum memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak.

“Kak Geto pulangnya hati-hati juga, jangan kemaleman..” cicitmu meski tahu panggilan tersebut sudah terputus.


Kamu tersenyum kecut sembari memandangi layar ponselmu dengan buliran cairan bening yang siap meluncur membasahi pipi. Pikiranmu memang berkata bahwa kamu baik-baik saja, toh masih ada hari esok untuk bertemu dengannya. Namun, hati kecilmu merasa kecewa dan terdapat perasaan janggal yang membuatmu sesak.

Kekalutan yang kamu rasakan membuatmu tidak menyadari adanya pria asing yang mendekatimu sampai ia membuka suara, “Udah cantik gini masa sendirian aja? Mau abang temenin nggak?”

Kamu terkesiap, pria itu hanya berjarak dua meter dari tempatmu duduk.

Pria itu tampak mencurigakan, membuatmu ketakutan jika ia akan berbuat jahat padamu. Terlebih disana sudah sepi sekali, para karyawan dari tempatmu bekerja sudah pulang sejak tadi; mungkin masih ada beberapa yang masih lembur. Namun tetap saja, kamu tidak bisa mengandalkan sesuatu yang tidak pasti.

“Ikut abang yuk? Nanti abang ajak ke tempat yang enak buat berduaan,” ujarnya sembari berjalan mendekatimu.

Sungguh, kamu ingin berlari menjauh dari sana. Namun pakaian dan sepatu yang kamu kenakan tidak memungkinkan, jika sial kamu malah akan tertangkap olehnya.

Tanpa diduga, ada seorang pria dari arah kantormu menghentikan laju motornya tepat di depan halte tempatmu menunggu. Ia lepas helmnya, lalu ia sangkutkan pada salah satu spion motornya sebelum berjalan menghampirimu.

Melihat kedatangan orang itu membuatmu dapat bernapas dengan lega, pasalnya ia adalah rekan kerjamu yang tampaknya baru saja menyelesaikan tugas lemburnya; Sukuna.

“HEH! BERANI-BERANINYA LU GANGGUIN CEWE ORANG!” seru Sukuna dengan raut wajah yang sangat mengintimidasi.

“K-kaga, bang. Gua bercanda doang hehehe” balas pria yang mengganggumu tadi sebelum pergi dari hadapanmu dan Sukuna.

Sukuna mengamatimu sejenak sebelum akhirnya melontarkan pertanyaan padamu.

“Lu nggak diapa-apain kan sama orang tadi?” tanyanya.

“Engga,” jawabmu.

“Dia ngomong yang nggak-nggak ke lu?” tanyanya lagi.

“Engga..”

“Terus lu kenapa nangis?”

Kamu tidak menjawabnya sehingga Sukuna kembali bertanya, “Kenapa jam segini lu masih disini?”

Lagi-lagi kamu bungkam dan hanya menunduk.

Melihat gelagatmu yang demikian, ia dapat menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi. Karena yang ia tau, seharusnya kamu saat ini tengah menghabiskan waktu bersama kekasihmu, Suguru Geto. Namun sampai jarum pendek pada arlojinya berhenti di angka 9, kamu masih di sini seorang diri.

“Mau pulang sama gua aja nggak?” tanyanya.

“Ga usah, Na. Gue bisa pulang sendiri. Lu pulang duluan aja sana,” jawabmu.

Bukannya pergi, Sukuna malah duduk di salah satu bangku halte.

“Yaudah, gua tungguin disini sampe jemputan lu dateng,” ujarnya.

“Ih, ga usah,” tolakmu.

“Kalo ada yang gangguin lu kaya tadi lagi gimana?” balasnya sembari melepas jaketnya.

Ia kembali bertanya, “Lu pulangnya gimana? Naik ojol?”

“Iya..”

“Pake nih,” titahnya sambil menyerahkan jaket yang semula ia kenakan padamu.

Melihatmu yang masih tidak bergeming membuatnya hilang kesabaran hingga akhirnya ia sangkutkan sendiri jaket tersebut pada kedua bahumu.

“Nggak usah nolak, muka lu udah pucet banget,” ujarnya.

Kamu mengangguk pelan sebelum akhirnya berbicara, “Una, makasih yaa..”

Mendengar itu, Sukuna memandangmu sekilas, lalu membuang muka dan kembali duduk seperti semula.

“Iya, santai aja,” jawabnya.


”Why Won’t You Love Me” commissioned by @estimoboo