Hug Me
Jarum pendek pada jam yang menempel di dinding mulai menginjak angka sembilan. Sudah cukup larut untuk berkutat di ruang kerja seperti yang dilakukan suamimu, Nanami Kento.
Entah proyek macam apa lagi yang ia kerjakan hingga membuatnya sesibuk ini, hingga waktu kalian untuk saling menyalurkan rasa sayang pun turut tersita.
Kamu menghampirinya dengan membawa secangkir teh hangat di tanganmu. Setidaknya, itu akan membuatnya sedikit lebih rileks, begitu pikirmu.
“Mas Ken?” panggilmu pelan saat sudah berada di ambang pintu.
Sedangkan yang dipanggil hanya menorehkan senyum kala netranya mendapati dirimu yang tampak lugu mengenakan dress tidur hitam selutut sembari membawa secangkir teh hangat untuknya.
“Buat Mas?” tanyanya.
Memang aneh pertanyaan yang ia lontarkan. Untuk siapa lagi kamu membuat teh malam-malam begini jika bukan untuknya yang tetap bekerja sampai larut meski tengah di rumah?
“Iya, buat Mas Ken. Biar rileks,” jawabmu.
“Makasih ya, kamu udah repot-repot bikinin Mas teh hangat. Enak sekali teh buatan istri Mas, badan Mas langsung segar bugar,” ujarnya setelah meminum beberapa teguk teh yang tadi kamu bawa.
“Teh doang, Mas. Ga repot sama sekali kok,” balasmu yang merasa malu mendengar pujian darinya yang terdengar berlebihan itu.
“Tapi kan harus tetap Mas puji.” Dia memang seperti itu, selalu memuji apapun yang kamu kerjakan dan apapun yang telah kamu buat. Sehingga membuatmu merasa berharga saat bersamanya.
“Mas Ken, masih lama?” tanyamu yang masih setia memandangi wajah seriusnya.
“Engga. Kalo kamu ngantuk, tidur duluan aja. Nggak perlu nungguin Mas,” balasnya.
Kamu yang semula duduk di bangku yang letaknya hanya beberapa langkah dari meja kerjanya, mulai beranjak menghampiri Kento. Lalu memeluk bahunya dari belakang; membuat senyumnya kembali mengembang.
“Kenapa, sayang?” tanyanya dengan lembut.
“Ga kenapa-kenapa. Pengen peluk Mas Ken aja,” cicitmu.
Nanami Kento tidak kuasa, ia rapihkan lembaran berkas-berkas yang ada di mejanya, lalu memberikan kecupan singkat pada pipimu yang tepat berada di hadapannya kala ia menolehkan kepala.
Ia bangkit dari kursinya, kemudian menarikmu dalam pelukannya yang hangat. Dibelainya suraimu dengan lembut, memberikanmu ketenangan dan kenyamanan yang luar biasa.
“Hari ini kamu baik-baik aja kan di rumah?” tanyanya.
Kamu hanya mengangguk pelan, mengiyakan pertanyaan yang ia lontarkan.
Ia sangat tau kamu seperti apa. Kamu selalu ingin mendapat pelukan darinya ketika suasana hatimu sedang tidak baik. Karena bagimu, pelukan darinya adalah satu-satunya tempat yang membuatmu merasa damai.
“Mau ke kamar sekarang?” tanyanya lagi.
“Kerjaan Mas udah selesai?”
“Belum, tapi masih bisa dilanjutkan besok.”
“Ih, kalo gitu harusnya tadi Mas istirahat aja. Lanjut kerjanya besok lagi di kantor. Kurang puas kerja dari jam sembilan sampai jam lima sore? Sampai-sampai Mas be—”
Nanami Kento segera melumat bibirmu, sebelum kamu berbicara lebih panjang lagi. Singkat, tapi cukup berhasil membuat darahmu berdesir dan denyut jantungmu berpacu kencang.
Setelahnya, ia angkat tubuhmu lalu menggendongmu menuju kamar kalian yang masih tertata rapi.
“Turunin, Mas! Aku berat!” titahmu yang tentu saja tidak ia turuti.
“Ringan kok,” balasnya.
“Bohong! Mas Ken aja sampe keringetan gitu.”
“Kepanasan aja. Kamu beneran ringan, nggak berat sama sekali,” ujarnya sembari terkekeh.
“Mas?”
“Apa?”
“AC-nya nyala loh. Kok bisa kepanasan?”
”....”
Time Limit