Don’t Think About It
Malam semakin larut, kesunyian malam juga kian terasa sehingga Utahime yang tengah mampir untuk mengecek keadaamu dan suamimu, kini berpamitan untuk pulang.
Sebelum ia pergi, ia memelukmu lama. Sesekali tangannya menepuk-nepuk bahumu guna membuatmu semakin tegar.
“Lu orang yang kuat. Lu sahabat gua yang paling tegar yang pernah gua liat. Tapi, kalo lu butuh bantuan apapun, jangan ngerasa gak enak atau takut ngerepotin gua dan yang lainnya ya. Kita semua pasti bakal bantuin lu.”
Kamu hanya mengangguk sembari menyeka air matamu yang kembali menetes. Senyuman memang terbingkai di bibirmu, namun air mata tidak hentinya membasahi pelupuk matamu.
“Jangan nangis lagi ya.. Kasian kalo suami lu liat lu nangis kaya gini. Dia pasti ngerasa sedih juga..” ujar Utahime yang tangannya masih menepuk-nepuk pelan bahumu.
“Ah, iyaa.. Maaf, susah diremnya hahaha” balasmu sembari terkekeh.
Ya, kamu memang sudah berjanji pada dirimu sendiri bahwa tidak akan memperlihatkan kesedihanmu di hadapan suamimu, Nanami Kento. Bagaimana pun, saat ini ia sangat membutuhkan support dan kasih sayang darimu, bukan kepedihan dan air mata yang seolah tiada habisnya.
“Yaudah ya, gua pulang dulu. Udah kemaleman nih, bisa-bisa portal depan keburu di tutup” pamit Utahime.
“Yaudah, hati-hati ya, Ta. Makasih banyak udah mampir kesini buat nengokin” ujarmu.
“Iyaa. Baek-baek ya lu,” balasnya sebelum melajukan motornya keluar dari area halaman rumahmu.
Setelah Utahime pulang, kamu tidak langsung menghampiri Nanami Kento yang saat ini berada di kamar tidur kalian; melainkan berkutat dengan piring-piring dan gelas kotor di washtafel dapur.
Tidak berselang lama, sepasang lengan kokoh melingkar di perutmu yang sukses membuatmu terkejut bukan main. Bahkan gelas yang tengah kamu cuci hampir saja terlepas dari genggamanmu.
“Mas Ken, ih! Ngagetin aja!” ujarmu.
“Kamu lama,” balasnya sembari meletakkan dagunya di bahumu.
“Aku kan bersih-bersih dulu. Biar cucian piringnya ga numpuk besok,” jawabmu.
Nanami tidak membalas ucapanmu lagi, dan masih berdiri dengan posisi yang tadi.
“Mas, ini kalo mas kaya gini nih bisa-bisa aku kelar nyuci piringnya subuh,” keluhmu.
“Nggak apa-apa, mas temenin,” balasnya dengan berbisik di telingamu, membuatmu gemas hingga langsung meletakkan gelas yang semula kamu pegang.
“Aku nyerah,” ujarmu sembari memutar tubuhmu untuk memeluknya.
Kamu dapat mendengar suara kekehan kecil darinya sebelum ia berbicara.
“Rasanya udah lama banget kamu nggak meluk mas kaya gini,” ucapnya sembari membelai suraimu.
“Kemarin-kemarin mas nyebelin!”
“Kok nyebelin?”
“Gatau ah, nyebelin!”
“Maafin mas ya, sayang,” ujarnya.
“Makin nyebelin! Kan udah aku bilang, mas jangan minta maaf mulu.”
“Iya, iya.. Mas kayanya salah terus nih?” balasnya.
“Emang salah!”
Nanami merasa jika ia tidak segera merubah topik pembicaraan, kamu akan mengungkit kembali masalah di hari-hari sebelumnya. Sehingga ia memutuskan untuk mengajakmu ke kamar tidur kalian.
“Mau ke kamar sekarang?” tanyanya.
“Iya, biar mas bisa langsung istirahat juga.” jawabmu.
“Hm? Mas masih mau mesra-mesraan sama kamu tuh,” balasnya.
“Mas,”
“Ya?”
“Aku aduin dokter Shoko kalo mas bandel, ga mau disuruh istirahat,” ancammu.
“Kamu sejak kapan jadi tukang ngadu gini?”
“Sejak hari ini. Kenapa? Mas ga suka?”
“Nggak. Tapi kalau ke kamu, mas suka,” jawabnya.
“Mas ga cocok banget ngomong gitu,” ujarmu sembari tertawa.
“Aneh ya?”
“Iya. Tapi lebih anehnya lagi, aku suka..”
Obrolan kalian terus berlanjut hingga kalian telah berpindah ke ruang tidur, lalu berbaring; berceloteh sembari menatap langit-langit seolah tengah meratap agar waktu kebersamaan kalian ini tidak akan pernah berakhir.
”Time Limit”