Blue


23.35

Setelah memarkirkan motormu, kamu pun segera masuk ke dalam cafe yang nampak sepi. Tentu saja, jam beroperasinya sudah berakhir beberapa jam yang lalu.

Sejujurnya, agak sulit bagimu mendapat izin dari orangtuamu untuk keluar selarut ini. Setelah mengalami perdebatan, akhirnya kamu diperbolehkan asal ponselmu selalu aktif agar ayahmu dapat menghubungimu.

Untungnya, jarak rumahmu menuju cafe tidak terlalu jauh. Hanya memakan waktu sekitar 20 menit untuk sampai disana.

Kamu mengedarkan pandanganmu, mencari sosok yang kamu kenal.

“Kak Nao!” panggilmu seraya berlari kearah ia duduk.

Naoya duduk di sudut, menutupi wajahnya dengan topi hitam miliknya.

“Kok kesini?” tanyanya.

“Muka lu kenapa, kak? Coba liat” kamu mencoba mengambil topi yang menutupi wajahnya, namun ia tahan.

“Gak kenapa-kenapa” jawabnya sembari terkekeh.

“KAK NAO!” serumu.

Naoya tampak terkejut mendengarmu berteriak, terlebih lagi ketika melihat matamu yang mulai berkaca-kaca.

“Gue ini apa sih buat lu, kak?” tenggorokanmu terasa berat ketika berbicara.

Seolah ada beban berat yang menekan teggorokanmu agar tidak mengeluarkan sepatah kata.

“Gue pengen tau semua tentang lu, gue pengen lu berbagi masalah yang ada di bahu lu, gue pengen lu jadiin tempat berkeluh kesah, gue pengen ngerasa dibutuhin sama lu, kak”

”...rasanya gue ini cuma jadi orang asing buat lu. Ga ada satu pun yang gue tau tentang lu. Semuanya lu rahasiain dari gue” sambungmu dengan tawa yang dipaksakan.

Kamu terus bermonolog, Naoya sama sekali tidak menyela ucapanmu.

Ia menepuk kepalamu pelan, mencoba untuk menenangkanmu.

“Gua cuma gamau bikin lu khawatir” ujarnya.

Perlahan ia mulai menurunkan topi yang sedari tadi ia gunakan untuk menutupi wajahnya yang lebam.

“Liat kan? Gua gapapa” Naoya tersenyum lebar agar meredakan rasa cemasmu.

Bukannya mereda, kamu malah menangis ketika melihat darah yang nengalir dari hidung dan sudut bibirnya.

“Masih sama kaya dulu hahaha” batin Naoya, senang.

“APANYA YANG GAPAPA?” teriakmu yang panik dan mulai memanggil Yuuta.

“YUUTA, ADA ES BATU GA?”

Tidak lama, Yuuta membawakanmu semangkuk es untuk mengompres pangkal hidung Naoya guna memperlambat perdarahannya.

“Jangan gitu ih! Agak nunduk coba kepalanya. Kalo dongak gitu malah bahaya!” titahmu.


“Sakit ga?” pertanyaan bodohmu mulai muncul, padahal Naoya beberapa kali mengaduh kesakitan ketika kamu mengoleskan salep pada lukanya.

“Tadi sih engga, sekarang baru berasa” jawabnya

“Jadi? Lu begini tuh karna apa, kak? Abis tawuran?”

“Emangnya gua bocah gabut apa?”

“Terus kenapa?” kamu terus menuntut jawaban darinya.

“Masalah keluarga...” jawabnya sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Kamu tidak bertanya lebih jauh lagi, karena kamu merasa tidak pantas untuk menuntutnya bercerita akan masalah yang ada pada keluarganya.

“Kalo semuanya udah beres, gua akan ceritain semuanya. Jadi, tunggu sebentar lagi yaa” sambungnya sembari menepuk kepalamu pelan, lalu mulai menempelkan kepalanya di meja.

“Jangan tinggalin gua” ujarnya lirih.

“Kenapa?”

“Kalo lu gak ada, nanti gua gak punya apa-apa lagi” jawabnya sembari tertawa.

“Ngomong apaan sih lu, kak? Padahal yang lu punya tuh banyak.” jawabmu, merasa aneh dengan ucapan yang Naoya lontarkan.

“Gua siap kehilangan semuanya, asalkan bukan lu lagi..”


“No Silhouette”