Black Heart
Keheningan menyelimuti kediaman Nanami Kento malam ini. Namun, jika kita menjamkan telinga, akan terdengar sayup-sayup suara erangan yang menyakitkan berasal dari kamar tidur miliknya dan istrinya yang saat ini tengah keluar.
Ia masih terjaga meski malam sudah semakin larut. Duduk di tepi ranjang sembari memegangi kepalanya yang seolah tengah dihantam batu besar berkali-kali.
Hatinya nelangsa, harapnya ingin ditemani olehmu disaat seperti ini. Namun, kebodohannya malah membuatmu pergi entah kemana; hingga tampaknya kamu enggan pulang untuk bertatap muka dengannya.
Meski begitu, ia sedikit lega karena kamu tidak melihatnya dalam kondisi seperti ini.
Nanami tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi khawatir dan ketakutan yang akan tercetak di wajahmu jika melihatnya tengah bertarung dengan rasa sakit hingga darah segar tidak ada hentinya mengucur dari lubang hidungnya.
“Bodoh sekali kamu, Ken..” rapalnya berulang kali.
Jauh dari lubuk hatinya, ia menyesal menutupi semuanya darimu dan membiarkanmu tenggelam dalam kekecewaan yang menyesakkan.
Seandainya...
Seandainya ia menjelaskan padamu akan kondisinya, mungkin ia tidak akan sendirian di kamar yang sunyi ini dengan rasa sakit yang luar biasa.
Seandainya ia menjelaskan dari awal, ia tidak akan pergi menemui Shoko untuk berobat dan terapi seorang diri; karena kamu pasti akan menemaninya.
Seandainya ia mampu menekan rasa egoisnya, kamu tidak akan meninggalkannya dengan kemarahan dan kekecewaan yang meletup-letup, dan akan memegangi tangannya untuk memberinya kekuatan.
Namun, Nanami hanya mampu berandai-andai. Wajahmu yang malu-malu, senyummu yang tebingkai indah, binar matamu yang memancarkan cinta kala menatapnya, semuanya terbayang jelas oleh Nanami seolah pikirannya tengah menayangkan video dokumenter tentangmu saat ini.
“Apakah saya akan pergi seperti ini?” pikirnya.
“Membiarkan kesalahpahaman menyakiti hatinya sampai saya mati?”
Tidak, ia tidak menginginkannya. Ia tidak ingin kamu membencinya.Ia juga tidak ingin membuatmu merasa bersalah ketika tahu kebenarannya setelah waktunya di dunia telah usai.
Tubuhnya mulai bergetar hebat, keringat dingin sudah membanjiri tubuhnya. Wajahnya kian memucat, bahkan pandangannya semakin mengabur.
Untuk terakhir kalinya, ia mencoba menghubungimu. Ia raih ponselnya yang ada di atas nakas, namun tangannya yang gemetar hebat; tanpa sengaja menjatuhkan vas bunga berbahan kristal hingga membuatnya pecah dan pecahannya berhamburan.
Jemarinya menekan panggilan pada nomormu dengan susah payah, namun kamu tidak menghiraukannya. Bahkan sampai tiga kali ia coba, kamu tetap tidak menjawabnya.
Ia tersenyum getir, lalu memandang tiga tangkai bunga mawar merah yang pernah ia berikan padamu kini tergeletak diatas pecahan kaca.
“Maafkan mas, sayang..” cicitnya sembari mengambil tiga tangkai bunga mawar merah itu.
Darah segar mulai mengucur dari jemarinya, tampaknya ia tanpa sengaja tergores oleh pecahan kaca yang setajam belati. Atau mungkin juga oleh tajamnya duri pada tangkai bunga mawar yang ia pegang.
Kesadarannya yang juga kian menipis membuatnya terhuyung tepat di sebelah pecahan kaca vas bunga.
“Maaf..” ujarnya lirih, tepat sebelum matanya terpejam.
“Time Limit”