Because
Angin malam yang dingin berhembus kencang, rasanya seolah menusuk kulit meski kamu tengah memakai pakaian lengan panjang.
Jalanan malam itu terlihat sangat lengang, sehingga Geto dapat melajukan motornya dengan kecepatan tinggi tanpa hambatan dan kalian bisa tiba di area Rumah Sakit dalam waktu singkat.
Kamu meminta turun sebelum Geto mencari lahan parkir yang kosong di area parkiran, lalu bergegas menuju pintu UGD dengan langkah cepat.
Dari kejauhan, kamu dapat melihat dua orang lelaki yang kamu kenal tengah bersandar di dinding tepat di sebelah pintu UGD. Tampaknya salah satu dari mereka; lelaki berambut putih, melihatmu. Karena ia melambaikan tangannya padamu seolah berkata bahwa disanalah mereka menunggumu.
“Mas Ken... Mas Ken gimana?” tanyamu dengan napas tersengal.
“Gak tau, masih ditanganin dokternya. Lu duduk dulu, atur napas.” ujar Mahito.
Tidak lama, Geto datang lalu menyodorkan sebotol air mineral padamu.
“Minum dulu,” ujarnya.
Tenggorokanmu memang terasa kering sekali, bahkan suaramu pun menjadi sedikit serak. Jadi, kamu tidak ada alasan untuk menolaknya
“Makasih, kak” balasmu.
Sedangkan Geto hanya mengangguk pelan sembari melepas jaket yang semula ia kenakan.
Tidak berselang lama, pintu UGD terbuka dan memperlihatkan seorang dokter wanita muda keluar dengan wajah gelisah yang kentara.
Ia berjalan menghampirimu dengan langkah cepat, lalu ia berbicara dengan nada serius padamu.
“Istrinya Kento kan? Bisa bicara sebentar di ruangan saya?” ujarnya.
Jantungmu seolah berhenti mendadak, pikiranmu menjadi kosong hingga tidak mampu berpikir apapun selain mengangguk dan mengikuti langkah cepat dokter muda itu.
Sedangkan Mahito, Gojo, dan Geto hanya bertukar pandang dengan wajah kebingungan.
“Silahkan duduk,” ujar dokter muda itu padamu, mempersilakanmu duduk di salah satu bangku yang terletak di depan mejanya.
Tentu, kamu segera duduk. Kamu masih bertanya-tanya, hal penting apakah yang akan dokter itu bicarakan denganmu sampai membawamu ke dalam ruangannya seperti ini.
“Maaf, saya telat memperkenalkan diri. Saya Shoko, teman sekolah Kento semasa SMA, sekaligus dokter spesialis saraf yang menangani penyakitnya Kento,” ucapnya sembari menurunkan masker medis yang menutupi sebagian wajahnya, lalu ia mengulurkan tangannya padamu.
“Penyakit?” cicitmu penuh tanya.
“Ah, Kento pasti gak pernah cerita ya ke kamu?”
Kamu hanya menggelengkan kepala. Selain itu, kamu juga merasa bahwa suara dokter yang ada di hadapanmu ini terdengar tidak asing. Rasa-rasanya kamu pernah mendengarnya, namun kamu tidak mengingat kapan persisnya.
“Saya dilema, mau ceritakan ini atau engga. Tapi, kalau menunggu Kento menjelaskan langsung ke kamu, kayaknya dia gak akan sanggup. Jadi, terpaksa saya yang akan menjelaskan ke kamu, supaya gak ada penyesalan diantara kita semua nantinya,” ujarnya.
Ia kembali melanjutkan ucapannya, “Kamu ingat saya? Kita pernah bicara via telpon, saat itu kamu menghubungi Kento, tapi saya yang angkat.”
Kamu ingat sekarang. Dia adalah wanita yang malam itu mengangkat panggilanmu yang seharusnya ditujukan pada suamimu, Nanami Kento.
“Kamu jangan salah paham. Saat itu Kento lagi dalam perawatan saya di sini. Setelah minum obat, dia baru bisa tidur pulas. Dan kayaknya, paginya dia langsung ke kantor lagi,” jelasnya.
“Memangnya mas Ken sakit apa?” tanyamu pada akhirnya.
Shoko diam sejenak, tampak tengah berpikir sesuatu sebelum menjawab pertanyaanmu.
“Glioblastoma multiforme,”
“Ada tumor ganas yang bersarang dan berkembang dengan cepat di bagian otaknya,” sambungnya.
Seketika waktu terasa seolah terhenti. Pikiranmu makin kalut. Bagaimana bisa ia menderita penyakit seberbahaya itu dan kamu tidak tau apa pun?
“Jadi, saya mau kamu bujuk Kento untuk melakukan operasi pengangkatan tumornya sesegera mungkin.” Ucap Shoko.
“Mas Ken bisa sembuh total kan?” tanyamu penuh harap.
Namun, Shoko hanya menghela napas panjang.
“Saya gak bisa menjamin. Tapi, dengan operasi ini kita bisa meningkatkan harapan hidupnya beberapa waktu lebih lama..” jawabnya dengan berat hati.
Kamu tidak mampu berkata apa pun lagi. Lidahmu kelu, hatimu nyeri, dan kepalamu tidak mampu memikirkan apapun selain kondisi suamimu yang beberapa waktu belakangan ini tengah berjuang seorang diri melawan rasa sakit yang luar biasa tanpa sepengetahuanmu.
Melihatmu yang lebih banyak diam, Shoko segera mengajakmu untuk menemui Kento.
“Mau ketemu Kento sekarang? Seharusnya sekarang dia udah sadar,” ujarnya sembari beranjak dari kursinya.
“Yuk, saya antar.” ajaknya sembari menarik lembut lenganmu.
Aroma obat-obatan menusuk indera penciumanmu kala dirimu baru saja memasuki ruang UGD dimana Nanami Kento dirawat.
Kamu berdiri tepat di samping ranjangnya. Ia tampak pucat dengan mata terpejam, dan dahinya sedikit berkerut seperti tengah menahan sakit yang tidak ingin orang lain tau.
“Mas Ken?” panggilmu lirih.
Ia tidak bergeming.
“Mas Ken?” panggilmu lagi, namun kali ini ia membuka matanya dan menatapmu dengan mata teduhnya yang tampak sayu.
“Akhirnya kamu pulang, sayang..” ujarnya.
Beberapa detik kemudian, ia segera meralat ucapannya.
“Mas salah bicara ya? Ini kan bukan rumah kita?” ralatnya sembari terkekeh pelan.
Kamu berusaha mati-matian untuk tidak menangis di hadapannya. Namun, mendengarnya tertawa disaat seperti ini malah membuatmu tidak mampu menahan tangis lebih lama.
“Jangan nangis, sayang. Mas nggak kenapa-kenapa,” ujarnya sembari menyeka air matamu yang terus mengalir.
“Mas— Mas kenapa ga cerita apa-apa ke aku?” balasmu dengan terbata.
“Kamu tau?” tanyanya yang kamu balas dengan anggukan kepala.
“Maafkan mas, sayang..” ujarnya sembari menarikmu dalam pelukannya.
“Mas nggak mau bikin kamu khawatir dan sedih,” sambungnya.
“Tapi caranya ga gini.. Aku berhak tau apapun kondisi mas. Aku ini istri mas kan?” balasmu.
“Maafkan mas..”
Tidak ada percakapan lagi selain permintaan maaf yang ia ucapkan berkali-kali. Sedangkan kamu hanya menangis diatas bahunya dan membiarkan suara isakanmu terdengar memenuhi ruangan yang saat itu hanya ada kalian berdua.
“Time Limit”