1004
Sesuai janji, Geto tiba di rumahmu pukul 6 pagi. Sebenarnya ia 20 menit tiba lebih awal dari waktu yang dijanjikan.
Tapi, ia ditahan oleh ayahmu untuk menemaninya menikmati kopi hangat di beranda depan rumahmu.
Entah apa yang mereka bicarakan sampai-sampai mereka tidak menyadari kehadiranmu yang sudah berdiri dihadapan mereka.
“Lama amat kamu. Kasian nih nungguin daritadi” ujar ayahmu.
“Tapi ayah asik aja tuh, ada temen ngobrolnya” sahutmu.
“Sana berangkat” titah ayahmu, mengalihkan pembicaraan.
“Geto sama (y/n) pamit dulu ya, om” pamit Geto, yang disusul olehmu.
“Hati-hati bawa motornya. Jangan ngebut-ngebut. Geto, ini jagain yaa. Dia gampang ilang kalo di bawa ke tempat rame” ayahmu selalu memberi petuah setiap kamu akan pergi.
Geto mengiyakan sembari tertawa.
“Emangnya aku anak kecil?” bantahmu.
Geto membawamu ke salah satu taman kota untuk menikmati udara segar sembari berolahraga.
Baru 15 menit kamu berlari, tapi kakimu terasa sangat berat bahkan kamu hampir kehabisan napas.
“GILA! UDAH BERAPA LAMA GUE GA LARI?” batinmu.
Padahal belum lama ini kamu baru saja lari. Benar, lari dari kenyataan hidup yang pahit.
Kamu berjalan gontai jauh di belakang Geto yang energinya seolah tidak ada habisnya.
Menyadari kamu tidak berlari di sebelahnya, Geto pun menoleh dan berbalik menghampirimu yang sudah banjir peluh.
“Lu gapapa?” tanyanya khawatir.
“Kaki gue... loyo, kak. Kaya jelly, udah ga sanggup buat lari” jawabmu dengan napas terengah-engah, layaknya ikan yang berada di daratan.
Geto tertawa mendengar ucapanmu.
“Kalo gak kuat, harusnya bilang. Kita duduk di sana dulu, masih kuat jalan gak?” ujarnya.
“Kuat lah! Gue kan strong!” balasmu dengan percaya diri.
“Tapi jalan lu kaya zombie gitu” Geto tidak bisa menyembunyikan tawanya.
“DIEM!”
Kamu menengadahkan wajahmu, menatap langit yang teduh dan perlahan mulai memejamkan matamu, menikmati belaian lembut udara sejuk pada kulitmu.
Sesaat setelahnya, kamu dikejutkan dengan sensasi dingin yang kamu rasakan pada kedua pipimu.
Ketika kamu membuka mata, ada Geto yang tengah tersenyum sembari menempelkan dua botol minuman dingin pada pipimu.
“Iseng dah”
“Ini, minum dulu”
Kamu pun menerima sebotol minuman isotonik yang Geto ulurkan padamu.
“Makasih, kak” ujarmu sembari tertawa kecil.
Kamu dan Geto mulai membicarakan hal-hal yang ringan sampai rasa lelahmu berangsur hilang.
Hingga akhirnya Geto menanyakan sesuatu yang membuatmu teringat kembali dengan sosok Naoya.
“Lu sama Naoya gimana?” tanya Geto.
Kamu menanggapinya dengan acuh tak acuh.
“Kenapa?”
“Gua rasa, hubungan kalian belum bener-bener selesai”
“Maksudnya?” Kamu sedikit bingung dengan arah pembicaraannya.
“Masih ada beberapa hal yang belum kalian selesaiin” balas Geto setelah meneguk minumannya.
“Naoya masih ada hutang penjelasan kan ke lu? Sekecewa apapun, lu harus ngasih dia kesempatan buat ngejelasin” sambungnya.
Kamu terdiam, merenungkan ucapan Geto.
Benar, kamu pun sangat penasaran. Ingin mendengar semua hal yang akan Naoya jelaskan padamu.
Bahkan, kamu juga ingin tahu bagaimana keadaannya saat ini. Apakah dia sedih setelah berpisah denganmu, atau hanya kamu yang merasakannya.
“Lu masih sayang sama Naoya kan?” lagi-lagi Geto bertanya.
“Gatau” balasmu singkat.
Benar, kamu memang tidak tahu bagaimana perasaanmu saat ini padanya. Di satu sisi, kamu merindukannya. Di sisi lain, rasa kecewamu lebih mendominasi.
Bahkan kamu tidak tahu, apakah nantinya kamu akan mempercayai ucapannya lagi atau tidak. Rasanya sulit untukmu kembali menaruh kepercayaan pada orang lain.
“Siapa tau dia punya alasan yang baik kan?”
“Tapi, kalo tunangan di saat dia punya pasangan, itu tetep selingkuh, kak!” balasmu.
Geto tidak membantah ucapanmu.
“Gue pernah denger lu ngomong kalo lu suka sama gue. Itu bener, kak?” tanyamu, membuat Geto menoleh kearahmu dan terkekeh pelan.
“Oh, lu denger ya? Pantesan kemarin-kemarin lu canggung banget sama gua”
Geto berdehem pelan sebelum melanjutkan ucapannya.
“Iya, gua suka. Tapi gak perlu lu jadiin beban, anggep aja lu gak pernah denger”
“Gue bingung. Gue ga ngerti sama lu, kak” balasmu.
“Gak ngerti gimana?”
“Kalo lu suka sama gue, kenapa lu malah berusaha ngedeketin gue sama kak Naoya?” tanyamu.
Lagi-lagi Geto tertawa mendengar pertanyaanmu yang blak-blakan.
“Emang harusnya gua gimana?”
“Biasanya, kalo dalam keadaan gini tuh bisa lu manfaatin buat ngedeketin dan bikin gue jauh dari kak Naoya. Tapi yang lu lakuin malah kebalikannya.” jawabmu tanpa berpikir.
“Gua cuma mau lu bahagia. Gua gak mau liat lu sedih kalo milih keputusan yang salah nantinya, makanya gua pengen lu denger juga penjelasan dari dia. Kalo lu bahagianya sama Naoya, gua bisa apa? Ngedukung kalian aja kan?”
Ucapannya tidak sepenuhnya bualan belaka, ia benar-benar hanya ingin melihatmu bahagia.
Tentu, ia tidak munafik. Akan lebih menyenangkan jika yang dapat membuatmu bahagia adalah dirinya sendiri, bukan orang lain.
“Tapi, gua gak nyia-nyiain kesempatan kok” sambungnya sembari menyunggingkan senyum.
Entah sudah berapa kali ia tersenyum dan tertawa pagi itu.
“Engga ah. Yang lu lakuin cuma ngechat random, ngajak gibahin kak Hito, nelpon ngomongin hal random, ngajak jajan, terus.. Eh, bentar..“ sebuah kesimpulan terlintas di otakmu.
“Sekarang lu udah gak ngerasa canggung lagi kan di deket gua?” ujar Geto sembari menatapmu dengan hangat. Tak lupa senyum lembut yang menghiasi wajahnya.
“Kak, Senin hari terakhir gue masuk kerja”
“Udah ada cadangan?” tanya Geto.
“Udah dong! Kemarin gue ikut interview, terus lolos” jawabmu dengan senang.
“Dimana?”
“Gue bakal part time di resto deket tempat gue kuliah, kak”
“Bukannya jauh ya kalo bolak-balik dari sana ke rumah?”
“Makanya, gue mau nyari kosan”
“Udah dapet?”
“Belom, kan baru mau nyari”
“Mau gua temenin nyari?” tawar Geto.
Tanpa pikir panjang, kamu menyetujuinya.
“Oh, bentar. Gua coba tanya temen gua yang ada di daerah sana dulu, kali aja dia tau kalo ada kosan yang kosong buat lu” ujar Geto sembari merogoh ponsel yang ada di saku jaketnya.
Kamu tidak heran jika ia memiliki banyak relasi dan kenalan. Geto memang dikenal sebagai sosok yang mudah bersosialisasi dan pandai menjaga relasi dengan orang-orang di sekitarnya.
“Kok lu baik banget sama gue, kak?” cicitmu pelan.
“Jangan sampe gua confess beneran ke lu ya! Gua belum siap di tolak”
“Hahahahaha nyoba aja belommm”
“Gak usah ketawa, gua galau”
“No Silhouette”